www.MomsInstitute.com - Hari ini kita sama-sama berdiri di atas setapak waktu dari masa silam. Baik buruknya masa lalu adalah sebuah hikmah dari perjalanan kehidupan manusia.
Cerita-cerita hasil kolaborasi penulis di buku ini akan mengingatkanmu tentang adanya kenangan bukan untuk dilupakan, bukan jua untuk selalu disanjung. Namun, pembelajaran dalam rangka perbaikan diri untuk pendewasaan.
Setapak Masa Silam
Karya:
Atika Suci, Intan Mega H., Yulisna ER, Fifi Sofia, Eka Yuniarti, Kriz Azalea, Fatihsyafa Edelweiss, RAP, Raffi Rajj, Refni Rahim, Rahayu Fitri, Yulia WR, Fefi Hartiningsih, Murni Asih, Santy Eva, dan Sri Sulasmi
Sepenggal Kenangan
Karya: Atika Suci
Sebuah mobil melaju pelan melewati gerbang desa. Aku menoleh ke kiri, memandang bangunan sekolah tempat mengenyam pendidikan selama 3 tahun. Ya, SMPN Lamurukung. Sekelebat memori pun melintas di ingatan.
“Rahma, pinjam buku PR-mu. Aku lupa mengerjakan,” pinta Cece pagi itu sebelum Guru Fisika masuk.
“Nggak, ah. Kalau ketahuan Bu Citra, kita bisa dihukum,” tolakku tegas. Kebiasaan Cece itu memang tidak bisa dianggap sepele. Akhirnya Cece berlalu dengan wajah penuh kekesalan.
Tidak berapa lama, Irfan muncul dan mendekatiku seraya berkata, “Rahma, pinjam buku PR-mu. Kemarin aku bantu Ayah di toko, jadi nggak sempat buat PR.” Tatapannya penuh harap, entah kenapa aku malah merasa kasihan.
“Iya, deh. Kerjakan di belakang perpustakaan. Jangan sampai ketahuan teman-teman, ya. Nggak enak,” ucapku sembari menyerahkan buku.
“Eh, eh. Aku bilangin ke guru, tahu rasa, lho!” ancam Didin yang tiba-tiba muncul di hadapan kami.
“Jangan, dong. Kita ‘kan teman.” Aku berbisik padanya, takut ancaman itu benar-benar terjadi.
“Boleh. Asal aku juga nyontek, ya.” Didin memberi penawaran. Kesal, sih. Meskipun akhirnya aku menyetujui saja.
***
Takdir yang Menyamar
Karya: Indah Mega H
Waktu menunjukkan pukul 07.00 WIB. Gadis itu masih saja berbaring di spring bed dengan wajah lesu. Bibi berusaha membangunkan, tetapi itu sama sekali tak berpengaruh untuknya. Hal inilah yang membuat bibi marah sampai-sampai menyalakan musik dengan kencang agar gadis itu bangun dan bergegas ke sekolah. Saat ini, dia memang tinggal bersama bibi karena orang tuanya sedang berada di luar negeri. Alangkah malangnya, gadis kekurangan kasih sayang orang tua.
Selepas bersiap-siap, dengan bersemangat dia mengayuh sepeda cukup cepat meskipun jarak antara rumah dengan sekolah tidak terlalu jauh. Sampai di depan gerbang, dia harus menerima hukuman lari karena terlambat. Ah, hukuman yang lumrah bagi siswa kesiangan sepertinya.
***
Sebuah Cerita Masa Lalu
Karya: Yulisna ER
Sebuah bus sekolah meluncur di atas jalan raya, di antara deru lalu lintas sebuah kota. Setelah melewati taman kota, bus itu melambat dan berhenti. Seorang anak perempuan melompat turun kemudian melambaikan tangan kepada teman-temannya ketika bus mulai melaju lagi. Anak perempuan itu memakai rok panjang berwarna merah dengan kemeja lengan panjang dan kerudung berwarna putih.
Alsa. Anak perempuan itu lalu menyusuri trotoar sebuah jalan di samping taman kota. Untunglah sebagian dahan-dahan pepohonan di sana terjulur ke atas jalan, sehingga Alsa tidak terlalu kepanasan. Pepohonan membuat udara di sekitarnya menjadi lebih sejuk bahkan hingga ke tempat yang lebih jauh.
Sekitar 400 meter kemudian, Alsa menyeberang ke arah sebuah rumah berwarna cokelat muda. Alsa menuju ke pintu samping bercat putih, mendorongnya hingga terbuka. Tak lupa, dia menutupnya kembali sebelum berlari melintasi sebuah taman kecil dan menaiki beberapa anak tangga. Alsa menjumpai neneknya yang sedang duduk-duduk di teras samping.
“Assalamualaikum, Nenek.” Alsa mengulurkan tangan dan mencium tangan neneknya.
“Waalaikumussalam.”
“Nenek, apakah Ibu jadi pergi?”
“Iya, ibumu baru saja berangkat. Ayo, ganti baju dulu! Oh ya, tadi Ibu membuatkan puding mangga untukmu.”
“Iya, Nek. Alsa ganti baju dulu,” kata Alsa, sebelum masuk ke rumah.
Alsa segera menuju ke kamarnya untuk menaruh tas dan berganti baju. Selesai berganti baju, Alsa ke dapur dan mengambil segelas air putih. Setiap hari Alsa selalu membawa botol minum, tetapi hari ini air minumnya sudah habis saat masih di sekolah. Sebenarnya, sekolah menyediakan air minum, tetapi tadi Alsa tidak sempat mengambilnya.
Selepas menutup gelas, Alsa keluar teras samping sambil membawa puding serta dua buah mangkuk kecil dan sendok. Alsa meletakkannya di sebuah meja kecil, lalu memasukkan beberapa potong puding ke mangkuknya. Dia mengulurkan sebuah mangkuk pada neneknya sebelum mengambil mangkuk kedua dan duduk di kursi samping nenek.
(Bukan) Kenangan Terindah
Karya: Fifi Sofia
“Kalila, tungguin, dong!”
Aku berusaha memperlambat derap langkah setelah mendengar permintaan itu. Kemudian berbalik mencari suara yang mengajukan permohonan tadi. Lelaki belahan jiwa yang minggu lalu baru melamarku.
Braak!
Tiba-tiba tubuhnya terpental setelah aku melihat senyum itu tercetak jelas di wajahnya.
***
Dua bulan berlalu, lelaki tercintaku masih tidak sadarkan diri alias koma. Ada salah satu mobil yang remnya tidak berfungsi sehingga menerjang lampu merah, padahal saat itu kami menyeberang di zebra crossing saat lampu hijau. Niatku dan Mas Arief menghabiskan senja di Taman Lampion, malah berujung penyesalan.
Dua bulan yang tak lagi sama. Seharusnya ini menjadi awal persiapan pernikahan kami. Kupandangi cincin yang tersemat di jari manis, mengingat semua janji dan harapan kami. Akan tetapi, sekarang semuanya terasa samar.
Brownies Bokies
Karya: Eka Yuniarti
Seperti biasa, aku selalu mengunjungi toko brownies favorit setiap kali ada kesempatan. Tiada hari tanpa brownies, itulah kalimat yang sering dilontarkan oleh teman-teman. Aku memang seorang pencinta brownies, seperti seorang tokoh idola, melihat deretan brownies yang bertengger di etalase telah membuatku sangat bahagia.
Suatu ketika di toko brownies yang sama, aku merasakan ada hal yang berbeda. Untuk pertama kalinya aku mengalihkan perhatian dari brownies-brownies yang menggoda. Sepasang mata indah yang terhalang kaca bening berbingkai itu tengah menatapku. Sesaat setelah tersadar, aku segera melemparkan pandangan untuk menghindar dari tatapannya.
Aku pura-pura memilih brownies mana yang aku mau dan berusaha tidak mengacuhkan si pemilik mata indah itu. Sebenarnya aku merasa takut jika saat itu aku sedang kepedean.
“Ehm, suka brownies juga, ya?”
Seseorang menegur, spontan aku melirik ke arah si pemilik suara itu. Aku mematung sebentar, menarik napas dalam untuk menghilangkan rasa gugup sambil menyusun kalimat yang akan diutarakan.
“Emm, iya. Aku sangat suka brownies,” jawabku seingatnya.
Aku mencoba rileks, meskipun kegugupan mungkin masih terbaca jelas. Rasanya masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Si pemilik mata indah itu sekarang ada di sampingku.
“Berarti kita memiliki kesamaan, dong? Brownies itu makanan favorit aku. Eh, sampai lupa kenalan, nama aku Reno.” Si pemilik mata indah mengulurkan tangan dan aku membalas sambil berdoa dalam hati semoga getaran tanganku tidak dirasa olehnya.
“Panggil aja Tiara,” kataku, berusaha mencairkan kegugupan.
“Oke, Tiara. Sekarang kamu mau pilih brownies yang mana?”
“Favorit aku yang ini.” Aku menunjuk brownies dengan lapisan cokelat tebal bertabur kacang mete favorit.
Only Memories
Karya: Kriz Azalea
Hanya berupa kenangan manis yang tak mungkin terulang kembali dengan keadaan yang sebelumnya hingga pada akhirnya kita telah usai sampai di sini.
***
Buku diary berwarna hitam, kini sudah berada di hadapan seorang gadis muda yang hanya tersenyum memandang bulan, memang ia sendiri di dalam kamar tanpa ada orang menemani dirinya.
Tak penting ia sendiri, yang dilakukannya sekarang hanya mencatat kenangan masa lampau yang telah usai. Berupa kenangan pahit dan manis telah lama tidak dipikirkan kembali.
“Aku mungkin tak bisa bersamamu kembali sampai kapan pun. Karena ini hanyalah berupa masa lalu,” gumam gadis yang tengah berbicara kepada bulan.
“Fai, kenapa di dalam kamar terus?” teriak mamanya yang tengah berada di depan pintu kamar.
Gadis yang berambut pendek, kacamata bulat yang bertengger, mata yang sipit serta muka yang polos karena ia adalah anak satu-satunya di keluarga Ferdian.
Fairuz Putri Kumalasari, tetapi akrab disapa Fai. Memiliki keyakinan jika suatu saat ia bisa kembali bahagia dengan seseorang yang disayanginya.
“Bentar, Fai bakalan keluar, Mama Sayang.” Fairuz menjawab lantang.
“Kamu ini, di dalam kamar terus. Ayo keluar, ada seseorang yang mau ketemu sama kamu,” ujar mama di luar kamar.
Fairuz hanya pasrah karena yakin yang datang itu seseorang dari masa lalunya. Kejadian pahit itu memang sudah lama, tetapi sangat sulit dilupakan.
“Ma, suruh saja dia tunggu di ruang tamu. Fai mau siap-siap dulu.”
“Iya, Fai.”
***
Suvenir Pujaan Hatiku
Karya : Fatihsyafa Edelweiss
Semalam suntuk, aku rindu
Air mata berlinang sunyi dan syahdu
Hancur ketakutan malam berlalu
Hamparan mencari kepastian cintamu
Rindu berat di hati
Jangan biarkan tak berarti
Satukan cinta sentuhan lembut
Dalam ikatan erat cinta kusebut
“Bagaimana bisa melanjutkan puisi, jika mata sudah mulai mengajak terpejam. Rasanya tak tahan dengan lampu kamar yang remang-remang,” ujarku pada diri sendiri.
Ketahuilah bahwa setiap puisi merupakan sebagian dari semangat hidupku. Sebagai suatu cara untuk mengembangkan kesetiaan dan cinta untuknya.
“Jangan terlalu berlebihan mencintai seseorang, Hessa,” sahut saudara sepupuku.
Namanya Kasih, gadis cantik jelita, berwajah tirus, memiliki kulit putih, mulus, rambut indahnya panjang tergerai, dan sebaya denganku. Ia spesial karena memiliki sikap yang tegas.
Orang bilang, Kasih adalah kembaranku. Hanya saja kulitku kemerah-merahan, pipi sedikit tembam, rambut ikal, dan selalu pasrah pada keadaan.
“Hei, Kasih. Sejak kapan duduk di sana?”
“Sejak dua puluh menit lalu. Kamu terlihat asyik menulis surat cinta, jadi aku tidak mau mengganggu. Tapi, tadi aku mengucapkan salam, kok,” ucap Kasih, berjalan menghampiriku.
Cinta Sebenarnya
Karya: RAP Sang Pemimpi
“Suatu hari nanti, kitaakan menaklukkan lautan itu. Kita akan hidup bebas dari apa pun. Jangan lupakan tempat ini ya, Ray.”
“Haha, aku takut tenggelam, Ace.”
Setiap sore, aku dan Ace menghabiskan waktu di pantai ini. Ace adalah kakak angkatku. Kakek sudah merawatnya semenjak bayi hingga setiap hari aku menghabiskan waktu bersamanya. Menangkap burung, memancing, bahkan sampai masuk hutan hingga tersesat.
Waktu itu, kakek dan hampir seluruh warga mencari kami. Sudah hampir satu malam kami di hutan. Aku tahu, Ace juga sangat khawatir dan takut. Akan tetapi, dia selalu berusaha untuk tetap tenang. Sampai akhirnya kakek menemukan kami.
Ace tidak suka melihat air mata seorang laki-laki. Mungkin karena itulah dia pura-pura tidak takut agar aku tidak menangis. Dia juga selalu berkata padaku, jika laki-laki itu harus kuat dan tidak boleh cengeng.
“Sok tua, kamu, padahal umurmu masih lima belas tahun. Gimana kalau sudah dewasa nanti? Kakek saja yang sudah tua tidak pernah bilang begitu,” protesku, setiap kali mendengar ucapan Ace.
Tiba-tiba, ada yang memegang tanganku sambil berkata, “Kalau sedang sakit, jangan suka melamun, Mas.” Suara perawat yang sedang mengganti infus itu memecah lamunanku.
“Tadi kakek Mas berpesan, katanya dia mau keluar sebentar. Ada urusan,” imbuh suster.
“Kakek mau ke mana, Sus?”
“Kurang tahu, Mas.”
Aku mengangguk saja meskipun heran karena kakek tak menceritakan tentang penyakitku yang sebenarnya. Sudah seminggu aku tidur di ruangan pengap ini, tetapi Ace tidak pernah datang. Mungkin dia tidak bisa izin bekerja.
***
Mata Dewa
Karya: Raffi Rajj
Jakarta, Medio 1990
Terik matahari, panasnya seakan menembus kulit. Debu beterbangan saat tiga orang pemuda berseragam putih abu-abu berlarian. Mereka berkejaran satu sama lain, laksana atlet lari jarak dekat, yang sedang berlomba mencapai finis. Pemuda yang terdepan bernama Zulkarnaen alias Panjul, anak betawi asli yang konon ayahnya memiliki banyak kontrakan. Di belakang Zul, ada Romli, yang juga anak betawi asli, hanya nasibnya tidak sebaik Zul anak bandar kontrakan. Ayah Romli hanya seorang petugas keamanan kampung. Pemuda yang paling belakang bernama Slamet Sadewo alias Dewa, anak penjaja sayur keliling di kampung mereka.
Ketiganya melesat cepat menuju stasiun kereta, yang sudah tampak di depan mata. Dewalah yang pertama sampai di sana. Dia meloncat sambil berteriak penuh kemenangan, tak peduli keringat yang membanjiri tubuhnya. Tak lama menyusul Zul dan Romli. Keduanya sampai bersamaan. Dewa masih tertawa, menikmati kemenangannya, sementara kedua temannya tampak menghela napas kelelahan. Melihat keduanya kehabisan napas, tawa Dewa semakin meledak. Mereka selalu seperti itu setiap hari. Berlari menuju stasiun hanya untuk membuktikan siapa yang tercepat. Lomba tanpa tropi yang penting senang di hati.
Tak lama berselang, kereta yang mereka tunggu pun tiba. Penumpang yang ada di stasiun segera berhamburan masuk gerbong, mencari tempat yang masih kosong. Ketiganya berdesakan dengan penumpang yang lain. Kereta bergerak perlahan, laksana ular besi yang menggeliat di atas rel.
Kereta api pun semakin jauh meninggalkan stasiun. Gerbongnya sudah dipenuhi penumpang. Para pedagang asongan berjingkat-jingkat melangkahi para penumpang sambil menjajakan dagangannya. Angin yang masuk dari jendela, tak mampu mengusir rasa panas dalam gerbong. Anak-anak merengek dalam gendongan ibunya, karena rasa gerah yang menyerangnya tak kunjung hilang.
Berlalu Bersama Kabut
Karya : Refni Rahim
Ponsel Tama dari tadi tak berhenti berdering. Pemberitahuan pesan dari WhatsApp baik pesan pribadi maupun pesan grup, terus menambah jumlah percakapan yang belum sempat dibaca Tama. Sejenak, dia menoleh ponsel yang diletakkan dalam laci, sengaja dikeluarkannya agar getar dan bunyi ponsel tidak mengganggu konsentrasi. Pekerjaan yang menumpuk membuatnya terpaksa menunda godaan memegang ponsel sampai jam istirahat tiba.
Kriiing ...!
Kali ini ponsel tersebut tidak sekadar pemberitahuan dari pesan WhatsApp, melainkan panggilan masuk dari seorang teman lama. Melihat nama yang tertera di layar ponsel, membuat Tama tertegun. Tak urung Tama menjawab panggilan tersebut.
“Halo ...?” sapa Tama.
“Hai, Tam. Ke mana saja dari tadi? Pesanku juga belum dibaca.” Suara Riki, teman sejak SMA, membuat Tama menghentikan pekerjaannya.
“Hai, Riki. Apa kabar? Aku dari tadi masih sibuk di kantor, belum sempat baca-baca pesan,” jawab Tama sambil menyandarkan diri pada kursi kerjanya.
“Ah sibuk sekali, Kamu. itu di grup alumni, teman-teman sudah ramai membicarakan reuni. Kamu hadir, ‘kan?” Riki mempertegas kesediaan Tama.
“Kapan?” tanya Tama singkat.
“Belum tahu juga, itu masih dibahas sama teman-teman. Cuma sebelum reuni diadakan, Si Arman mengajak kita napak tilas mendaki Gunung Merapi. Sudah lama kita tidak ke sana.” Tama tertegun mendengar ajakan tersebut.
Memang sudah lama sekali Tama tidak melakoni kegemarannya mendaki gunung, terakhir sejak pergi bersama teman SMA.
“Hai, Tama. Kenapa diam saja? Sekali-kali refreshing-lah dari kantor!” Suara Riki dari ponsel mengagetkannya.
“Eh iya, nanti kutanya cuti dulu dari bos,” jawab Tama tak yakin, bukan tak yakin izin dari bos, tetapi tak yakin pada dirinya sendiri untuk menyetujui ajakan Riki.
“Oke, kutunggu kabarmu, ya.” Riki mengakhiri percakapan.
Mata Tama masih memandang tempat yang sama, pikirannya belum beranjak dari lamunan tentang kejadian saat mendaki gunung kala itu. Tama yang ketika itu sudah memasuki semester akhir kuliah, diajak oleh teman-teman SMA untuk menapaki terjalnya menuju cadas hingga puncak merapi. Tama setuju karena memang sudah lama tidak bertemu.
***
Kenangan
Karya : Rahayu Fitri
Liburan sekolah telah tiba. Watik meminta orang tuanya untuk mengantarkan ke desa tempat tinggal sang nenek. Bersama adik laki-laki, mereka pun pergi berlibur. Watik pergi ke Desa Simo, sedangkan adik laki-lakinya ke Desa Nogosari. Mereka memang memiliki tempat favorit berbeda untuk berlibur.
Sore itu di tempat biasa berkumpul anak-anak desa sedang membahas rencana untuk memet ikan . Cara sederhana tanpa mematikan kearifan lokal. Joko, Sardi, Yani, Giyarto, Nanang, dan Ending berencana ikut masuk ke sungai. Mereka sepakat untuk membawa ember, jaring, kukusan dari bambu, plastik, dan lain-lain. Setelah membahas itu, mereka membubarkan diri, karena azan Magrib telah berkumandang.
Kali ini, Watik masih harus menimba air untuk mandi. Dia menyalakan lampu teplok sebagai penerangan. Desa Simo memang masih terpencil dan belum ada penerangan listrik. Jadilah dia memakai lampu teplok, yaitu lampu dari kaleng, dilubangi atasnya untuk diberi sumbu dengan bahan bakar dari minyak tanah. Selepas mandi, langsung disambung salat Magrib kemudian menghampiri Mbah Kakung.
“Simbah, benjing Watik nderek mbendung kali, njih.”
“Ya, Nduk. Ning ati-ati lho ya, mboten sah kesel-kesel, sing nawu gen mas-mase, yen wis asat lagi nyemplung mbanyu.”
“Inggih, Mbah.”
***
Rahasia di Balik Katana
Karya : Yulia WR
“Ameera, kamu sudah berjanji akan berkunjung ke rumahku, 'kan?” Jasmine memastikan janji Ameera sekali lagi.
“Iya. Kenapa, sih? Ribut amat. 'Kan bisa kapan-kapan.”
Ameera terganggu dengan tingkah Jasmine, sahabatnya. Soal Fisika yang sedang dilahapnya menjadi tak menarik lagi. Gadis itu memang sangat bersemangat mengajaknya bermain ke rumah. Entah apa yang direncanakan, tetapi kadang-kadang Ameera merasa takut terhadap Jasmine yang suka bertingkah aneh.
“Sekarang saja. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan. Kamu pasti akan suka,” bujuk Jasmine lagi.
Kali ini Ameera mengalihkan pandangan, menatap sahabatnya. “Kamu selalu ingin menunjukkan sesuatu, padahal tidak ada. Di rumahmu juga tidak ada yang aneh atau sesuatu yang bisa membuatku penasaran.”
“Kali ini benar. Kamu harus percaya padaku. Lagi pula, aku sangat butuh bantuanmu.” Jasmine membujuk sekali lagi. Ameera tidak bisa menolak jika Jasmine mengatakan butuh bantuan.
“Baiklah. Nanti sore kita ke rumahmu. Jika kamu berbohong, aku tidak akan pernah lagi ikut denganmu.”
Jasmine tersenyum lebar, senang karena telah berhasil membujuk Ameera. Ia ingin sahabatnya itu mengetahui apa yang disembunyikan selama ini. Sesuatu yang tersimpan di tempat paling rahasia dan disebut kenangan.
***
Gigi
Karya : Fefi Hartiningsih
Siang itu aku sedang menunggu angkot di halte Pasar Baru karena motor dibawa adik untuk belajar kelompok. Panas menerpa seakan tersingkir oleh embusan angin yang sesekali datang bertiup. Sudut mataku menangkap bayangan yang mendekat perlahan. Ketika aku menoleh, tampak seseorang bertubuh renta berjalan menjinjing bungkusan di tangan kanan. Bungkusan itu sebenarnya tidak terlalu besar, tetapi jari ringkihnya bergetar, sehingga aku khawatir bungkusan itu akan terjatuh. Ketika beranjak dan hendak membantunya, tiba-tiba datang seorang gadis ke arah nenek itu.
“Nek, tunggu Mimi. Kenapa nenek duluan?” kata sang gadis sambil membawa sang nenek duduk di bangku halte yang tidak jauh dariku.
“Mimi tadi ke mana? Nenek tidak lihat.”
“Beli gorengan kesukaan Nenek.” Mimi menunjukkan bungkusan di tangan kirinya. Lalu hening.
Dikarenakan angkot yang ditunggu belum datang, jadi aku melanjutkan pengamatan karena tidak ada aktivitas menarik yang bisa dilakukan. Mau berselancar di dunia maya, kuota di ponsel malah nihil. Dari ujung mata, aku melihat nenek itu menguap dan menampakkan deretan gigi yang mengilat.
Sang cucu tiba-tiba menoleh. “Lapar, Nek?”
Aku geli karena tahu nenek itu sedang mengantuk, bukan lapar.
“Nenek mau gorengannya, Mi.”
Senyum mengembang di wajahku. Walau mengantuk, nenek ternyata lapar juga. Mimi merogoh tas plastik di tangannya dengan sehelai tisu dia menyodorkan sebuah gorengan. Kulihat asap masih mengepul dari pisang goreng di tangannya.
“Masih panas, Nek. Nenek tidak mau ‘kan kalau gorengan ini Mimi tiup?”
Nenek mengangguk. Aku juga pernah mendengar hal yang disampaikan Mimi. Tidak baik meniup makanan yang masih panas. Jadi, gadis itu hanya memegang gorengan tanpa meniupnya sambil bercerita hal-hal seputar tempat yang ditanyakan neneknya. Tampak kasih sayang merebak dari suara Mimi yang lembut, membuatku sedikit iri karena di rumah tidak ada nenek yang bisa dilimpahkan perhatian. Nenekku telah menghadap-Nya sepulang umroh dua tahun lalu.
Tiba-tiba angkot yang kutunggu sudah berhenti di depan. Aku langsung naik tanpa basa-basi karena dua 'teman' baruku itu sedang asyik dengan obrolannya.
Pengalaman bertemu nenek yang unik di terminal, masih menari-nari di benakku sampai keesokan harinya. Pipi keriput tetapi penuh dengan gigi-gigi lengkap mengilap dan gadis langsing sederhana dengan pipi tirus.
Cinta Tak Pernah Salah
Karya : Murni Asih
Senja itu cuaca lebih cerah dari hari kemarin. Langit begitu terang, udara mengalir lembut menyapa sang pemilik bumi. Dhea sedari tadi hanya duduk sambil sesekali memandang ke langit seakan ingin mencurahkan segala unek-unek yang menggumpal dalam kepala. Matanya nanar melihat senyum si dewi malam hadir memberi senyum kedamaian. Bintang-bintang pun melambaikan tangannya menyapa Dhea yang asyik dengan pikirannya sendiri.
Dhea tersenyum manja pada rembulan dan bintang yang menemani saat itu. Rasa lelah yang selama ini menyelimuti dirinya, sedikit demi sedikit mulai terkikis sejak kehadiran Rio, sang arjuna sudah berhasil menggenggam jiwanya ke dalam ruang paling indah. Rio, cowok idaman para cewek masa kini, keren, tajir, cerdas, rajin, memiliki sejuta angan yang tinggi, dan masa depan cerah.
Dhea membayangkan dirinya dan Rio sedang bercanda bersama anak-anak mereka, bermain gendong-gendongan. Khayalan terlalu jauh tentang masa depan bersama Rio. Memiliki rumah sederhana, di samping rumah ada paviliun kecil untuk memberi les biola, di sebelah sudut paviliun dibuat studio mini untuk rekaman.
Tak terasa malam telah melarutkan semua angan, harapan, impian, dan khayalan yang menjulang tinggi. Tanpa disadari, sosok cewek berwajah Jawa tulen rambut tergerai sudah duduk di sebelahnya, ikut menikmati suasana malam ceria penuh warna.
“Dhea,” sapa Sekar tanpa menoleh.
“Hmm?” jawab Dhea tanpa menoleh juga.
Dhea tahu jika pada saat tertentu sahabatnya pasti tahu keberadaanya. Entah itu sedang sedih, kalut ataupun gembira. Sekar memahami betul karakter sahabatnya, jika dalam situasi apa pun pasti Dhea akan merenungi semua kejadian yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi. Seakan-akan dunia akan menjadi ceritanya. Dhea merupakan sosok cewek yang rajin dan tekun, sehingga keahliannya di bidang biola tidak bisa dipertanyakan lagi. Keren banget!
Tiga Puluh Satu
Karya : Santy Eva
“Yas, ambilkan ayah golok di dapur. Pohon tebunya sudah bisa kita panen.”
“Asyik … iya, Yah. Yayas ambil dulu goloknya.”
Terbayang air manis mengalir sepanjang kerongkongan dalam teriknya saat ini. Golok pun menebas pohon tebu di perkarangan rumah. Menikmati tebu merupakan saat yang paling aku tunggu. Duduk bersila memperhatikan ayah menebang dan membersihkan batang tebu. Menikmati tebu hasil panen ayah memang selalu kunantikan.
***
“Ayah punya kejutan buat Yayas.” Suara lantang ayah memecahkan sepi kamarku.
“Haa, asyik. Kejutannya apa, Ayah? Yayas sudah tidak sabar.”
Hanya senyum yang aku dapatkan tanpa kata dan penjelasan. Kemudian duduk berhadapan menunggu ayah menghabiskan kopi yang masih mengepul. Jemari bermain memukul pelan meja makan, tak sabar menunggu ayah. Namun, ayah sengaja memainkan rasa penasaranku. Tidak hanya kopi, pisang goreng pun menjadi alasan ayah menunda berita yang ingin disampaikan.
“Kalau Ayah masih lama, Yayas terusin kerjain PR-nya dulu, deh. Ayah mah sengaja bikin Yayas penasaran aja.”
Tak berselang lama, kejutan ayah pun datang. Sebuah sepeda yang sudah lama aku inginkan ternyata hari ini ada di depan mata. Pinggang ayah kupeluk erat, bulir bahagia meretas mataku. Tidak pernah terpikirkan ayah akan membelikan, sejak peringkat kelasku menurun.
***
Berkah Suatu Perjodohan
Karya : Sri Sulasmi
Suatu ketika, sekitar bulan Juli tahun 1997 di pagi hari yang cerah, tidak seperti biasanya kakak saya memanggil untuk suatu alasan pekerjaan. Saat itu saya masih mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Jurusan Antropologi yang sedang menyelesaikan skripsi.
“La, nanti temani menerima tamu teman saya yang akan pesan katering untuk arisan.” Kakak saya membuka percakapan. Dia memang seorang pengusaha katering dan saya sudah terlibat membantu usaha kakak saya sejak mulai SMA kelas 1.
“Ya, Ceu,” jawab saya singkat. Ceuceu adalah panggilan kakak dalam bahasa Sunda, karena kami berasal dari Tanah Pasundan.
Tepat pukul 13:00 WIB siang, teman arisan kakak datang dengan ditemani putranya berusia sekitar 28 tahun. Saat itu saya sendiri berusia 26 tahun.
Tiba-tiba kakak membuka pembicaraan, “La, kenalkan ini putra bungsunya Bu Prawiro, namanya Hudaya.”
Sejurus kemudian saya menyodorkan tangan menyalami keduanya. Tumben? Katanya mau pesan acara arisan, kok bawa putranya segala? batin saya. Namun, saya menepis segala pikiran kurang bagus saat itu dan fokus pada menu-menu yang dipilih untuk pesanan keluarga Ibu Prawiro.
Setelah Bu Prawiro pamitan, kakak berbicara kepada saya, “Kamu mau tidak dijodohkan sama putranya Bu Prawiro?”
Saya kaget dan tidak langsung menjawab karena masih trauma putusnya pertunangan dengan seorang pemuda satu kota dengan saya. Saat itu saya sama sekali tidak berpikiran untuk berpacaran secepat itu.
“Lihat saja nanti, Ceu,” jawab saya singkat dan tanpa semangat.
***
Bagi yang ingin memesan buku bisa langsung pesan ke nomor 0812-1400-7545 atau langsung klik di PenerbitMJB