-->
Menu
/

www.MomsInstitute.com - Punya anak yang sedang aktif dan ingin menunjukkan kehebatannya. Boleh sekali, buku ini menjadi rekomendasi untuk bacaan edukasi anak-anak. Buku Aku Anak Hebat ini memang menceritakan kisah-kisah inspiratif yang membuat anak-anak berani dalam kegiatan positif. 


AKU ANAK HEBAT

Adi Anak Hebat
Karya: Puji Nuryati

“Buah segar ... ada apel, semangka, jeruk, kelengkeng, melon, anggur, dan buah naga.” Suara pedagang buah membangunkan Adi yang sedang terlelap.
“Mama, ada pedagang buah. Beli ya, Ma,” rengek Adi kepada mamanya.
“Ayo, mama akan membeli buah untuk persiapan lomba kreasi besok,” sahut mama bergegas menghampiri pedagang buah. Tanpa pikir panjang, Adi pun mengikuti mama dari belakang.
“Pak, harga semangka per kilo berapa?” tanya Mama Adi kepada pedagang buah.
“Tujuh ribu lima ratus,” jawab pedagang buah.
“Mama, Adi ingin buah mangga. Beli buah mangga ya, Ma,” pinta Adi.
“Ya Adi, mama akan belikan buah mangga kesukaanmu.” Mama tersenyum ramah.
“Horee ...! Terima kasih, Mama. Aku sayang sama Mama.” Adi kegirangan sampai melompat tinggi.
Sementara itu, mama dan pedagang sibuk memilih buah, lalu menimbangnya. Akhirnya mama membeli buah naga, semangka, mangga, melon, jeruk, dan anggur. Adi sangat senang karena hari itu mamanya membeli banyak buah.
***

Aku Habiskan Makananku
Karya: Kak Yunda Sara


“Adek ... ayo, makan,” panggil Bunda mengajak Aji yang sedang asyik menggambar di kamarnya untuk makan. Akan tetapi, Aji tak menghiraukan panggilan bunda.
“Ayo, Sayang. Kita makan dulu.” Bunda kembali mengajaknya makan. 
“Aji mau menggambar dulu, Bunda,” jawab Aji tanpa menatap bunda dan sibuk dengan gambarnya. 
“Makan dulu, yuk. Gambarnya nanti lagi,” bujuk bunda.
Akhirnya, Aji menurut dan mengikuti bunda untuk makan. Wajahnya cemberut, karena Aji kesal dipaksa makan oleh bunda. 
“Aji kok cemberut? Ada apa?” tanya ayah, saat Aji sudah di ruang makan. 
“Aji ‘kan mau menggambar, Yah. Aji nggak mau makan,” ujar Aji, kesal.  
“Oh ... gitu. Tapi, sekarang ayah mau tanya. Kalau Aji lemas, bisa menggambar, nggak?” 
“Hm ... nggak bisa, Yah,” jawab Aji sambil menggeleng. 
“Makanya, Aji makan dulu biar nggak lemas, jadi nanti bisa lanjutin menggambarnya.” Ayah tersenyum, menyentuh pipi anak kesayangannya itu. 
“Siap! Aji mau makan, Yah,” kata Aji semangat.
Ayah dan bunda tersenyum melihat tingkah Aji. Mereka pun memulai makan dengan berdoa.
“Sekarang, giliran Aji pimpin doa mau makan, ya,” ingat bunda lagi. 
Anak pintar itu mengangguk, lalu berkata, “Sikap berdoa, berdoa dimulai.”
Bismillāhirrahmānirrahīm. Allāhumma bāriklanā fīmā razaqtanā waqinā ‘adzābannār. 


Aku Ingin Menjadi Pengajar Alquran
Karya: Anti Riyanti


Namanya Arini, seorang gadis belia yang tinggal di sebuah desa kecil di pantura. Dia tinggal bersama kakek dan nenek, sejak sang ayah meninggal dan ibunya merantau ke luar negeri sebagai tenaga kerja wanita. Sebenarnya, kakek dan neneknya tidak setuju jika anak Fitri—Ibu Arini—harus bekerja ke luar negeri. Akan tetapi, Fitri berkeinginan kuat untuk mengubah nasibnya selama ini.

Fitri yang hanya tamat  SMP tidak bisa mencari kerja kecuali menjadi asisten rumah tangga. Ia nekat pergi ke luar negeri karena sudah buntu tidak ada lagi yang diharapkan setelah suaminya meninggal dan masih memiliki utang, sehingga dia siap meninggalkan putri semata wayang. Namun, sejak keberangkatannya hingga bertahun-tahun tak ada kabar sama sekali. Sampai-sampai ibunya sakit karena memikirkan anak yang tidak kunjung datang.  

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Arini menjual sarapan pagi di depan sekolah. Conohnya saja pagi ini, Arini bersiap-siap menjajakan nasi uduk dan gorengannya.


Aku Tidak Takut Matematika
Karya: Vitasari


Sasa baru saja masuk SD. Ayah Sasa seorang guru dan ibunya bekerja di rumah sebagai guru les privat. Di sela-sela rutinitas, ibu menanam beberapa sayuran di rumah yang sering kita sebut sebagai tanaman hidroponik. Setiap hari selalu saja ada sayur yang dipetiknya untuk dimasak. Kata ibu, agar Sasa jadi anak yang pintar dan sehat, harus rajin makan sayur.

Hari pertama masuk sekolah, Sasa terdiam di bangkunya. Dia meremas-remas rok karena cemas. Matanya melihat ke sekeliling, teman-temannya yang lain saling menyapa. Mungkin mereka bertetangga, pikir Sasa. Namun tidak satu pun yang Sasa kenal. 
“Namamu siapa? Namaku Agnes.” Seorang anak berkepang dua duduk di sebelah Sasa.
“Aku Sasa. Kamu duduk di sini?” tanya Sasa kemudian.
“Iya. Kita sebangku, ya. Kok kamu diam saja? Apakah tidak ada seorang pun yang kamu kenal?”
“Tidak ada. Kamu adalah teman pertamaku.” Sasa menjawab, tetapi kali ini ada sedikit lengkungan senyum di wajahnya. 
“Oh, oke. Kita berteman, ya.” Mereka pun berjabatan tangan sebagai teman baru. 
***


Anggora Kecil yang Malang
Karya: Munjiyah


 “Bunda ... ada kucing. Ih, Anin nggak sukaaa,” teriak Anin sambil berlari masuk menemui bundanya di dapur. 
Anin memang memiliki trauma terhadap kucing. Pada saat masih berusia 2 tahun, Anin pernah dicakar oleh kucing tetangga sampai dirawat di rumah sakit. Sejak saat itu Anin takut dengan kucing. Melihat kucing lewat saja sudah takut, apalagi sampai bersentuhan.

Anin adalah anak tunggal di keluarganya. Ibu Anin seorang ibu rumah tangga. Ayah Anin bekerja di salah satu perusahaan swasta di Kota Semarang. Anin memiliki rambut pendek sebahu dan keriting. Hobinya menggambar dan menari. Saat ini Anin duduk di kelas 2 sekolah dasar.

“Kenapa, Anin Sayang?” tanya bunda.
“Itu lho ... Bun. Di teras depan ada Pus warna hitam, mau dekat-dekat ke Anin,” jawab Anin polos sambil masih menahan napas.
“Pus-nya lucu, ‘kan? Dia mau mengajak Anin bermain, lho,” ucap bunda tersenyum. 
“Nggak lucu, Bun. Anin nggak mau main sama Pus. Jijik, kotor, nanti kalau ada bulu yang rontok kena tangan Anin, gimana?” Anin kembali bertanya dengan lugu.
“Nggak apa-apa, Anin Sayang. Kalau tanganmu kotor, tinggal dicuci pakai sabun sampai bersih. Pus ‘kan juga makhluk Allah yang wajib kita sayangi juga,” tambah bunda.


Cerita Aksa
Karya:  Reni As


“Aksa, sarapan dulu. Sini mama suapin,” kata mama ketika melihatku keluar dari kamar sambil membawa mainan.
Tanpa banyak kata, aku langsung menuju meja makan. Aku duduk di dekat mama dan Kak Ara, menunggu disuapi. Namun, baru beberapa kunyah, aku menutup mulut.
“Kenapa, Aksa? Sudah kenyang?” tanya papa yang sejak tadi memperhatikanku dan Kak Ara makan. Aku langsung mengangguk sambil memegangi perut. Kekenyangan. 
“Ayo Aksa, ini baru beberapa suapan. Hanya nasi saja yang kamu makan. Itu pun hanya sedikit. Sayurnya sama sekali belum kamu makan. Lihat Kak Ara, makannya banyak. Jadi badan Kak Ara sehat dan gemuk. Ayo dong, Aksa. Makan lagi ya, biar tidak sakit,” nasihat mama panjang lebar.
Kak Ara yang sejak tadi makan, hanya tersenyum sebentar kemudian melanjutkan makan. Aku tetap menutup mulut sambil meneruskan bermain. Papa dan mama hanya geleng-geleng kepala melihatku. 

Aku memang tidak suka makan nasi, apalagi makan sayur. Namun, paling senang jajanan yang sering dibeli di warung depan rumah. Rasanya lebih gurih dan warna-warnanya menarik. Padahal mama juga sering membuat jajanan sendiri. Entah mengapa rasa dan warnanya tidak semenarik jajanan luar. 
***


Danu Berani Sekolah Sendiri
Karya: Restuasih Dwi Hatmanti


Kring ...
Bel sekolah berbunyi. Anak-anak berlarian untuk berbaris di depan kelas. Ya, itulah yang menjadi kebiasaan pagi di SD Harapan Bangsa. Anak-anak dibiasakan berbaris sebelum masuk ke kelas. 
Tampak dari kejauhan seorang anak laki-laki memegang lengan seorang wanita paruh baya dengan manja.

“Ayo, berbaris bersama teman-temanmu, Danu.”
“Oma ikut berbaris juga bersamaku, ya,” jawab Danu.
“Lho, ‘kan oma hanya mengantar saja,” sahut sang nenek.
“Pokoknya aku tidak mau baris kalau tidak bersama Oma,” rengek Danu lagi. 
Ya, itulah Danu, anak kecil yang kini bersekolah di SD Harapan Bangsa. Setiap hari ia diantar oleh neneknya. Ibu dan ayah bekerja, sehingga tidak bisa mengantar Danu ke sekolah. Beruntungnya, ia sangat dekat dengan ‘Oma’, panggilannya pada sang nenek.

Tak lama kemudian, tampak seorang wanita mendekati Danu dan neneknya sambil tersenyum manis, Bu Afra. Beliau adalah Guru Danu. Sedikit demi sedikit, Bu Afra mencoba merayu Danu agar mau berbaris. Namun rupanya, Danu tetap tidak mau berbaris tanpa sang nenek. 
“Danu boleh berbaris ditemani Oma,” kata Bu Afra penuh kesabaran.
Setelah berbaris, anak-anak masuk ke kelas. Lagi-lagi Danu enggan melepas tangan neneknya. Pada saat teman-temannya asyik belajar, ia berkali-kali menengok ke jendela karena takut ditinggal pergi neneknya.
***


Dicky Berani Berenang
Karya: Ruth Sri Rahayuningsih


“Aku di sini saja, ya,” kata Dicky di pinggir kolam renang. Ayah kemudian berenang mengitari kolam. 
Dicky mempunyai seorang kakak bernama Zacky. Meski belum pandai berenang, Zacky selalu menceburkan diri ke kolam renang. Meskipun akhirnya hanya bermain air.

Beberapa waktu lalu, ayah dan ibu mencari informasi tentang les berenang. Setiap Minggu pukul 8–10 pagi menjadi hari untuk berlatih berenang di dekat rumah.

Hari pertama les, Zacky dan Dicky diantar oleh ayah dan ibu. Sebelum berangkat mereka sarapan serta mempersiapkan perlengkapan untuk berlatih renang. Setelah sampai di tempat les, Zacky dan Dicky mengikuti arahan dari pelatih renang. Mereka melakukan pemanasan untuk meregangkan otot-otot agar tidak cedera.

Bersama teman-teman yang juga mengikuti les, mereka kemudian menceburkan diri ke kolam yang dangkal. Satu per satu diajari bagaimana cara mengambil napas dan dipraktikkan. Mereka begitu antusias mengikuti, sedangkan ayah dan ibu duduk di dekat kolam renang sambil memperhatikan mereka.

“Ayah, aku senang ikut les renang. Besok latihan lagi, ya,” ungkap Dicky setelah selesai. Sebelum meninggalkan tempat latihan, mereka membersihkan diri dan mandi.
***



Dira, Tim Penyelamat Bumi
Karya: Istinganatul Khairiyah


Brukk!
Suara tas Dira yang dilempar ke sofa. Dira duduk dengan lesu dan muka cemberut. “Masyaallah, Dira. Ibu sampai kaget mendengarnya. Ibu kira ada yang jatuh dari atap rumah. Biasanya jagoan ibu pulang dengan gembira dan tak pernah lupa mengucap salam. Apa terjadi sesuatu di sekolah? Dira mau berbagi cerita dengan ibu?” Ibu duduk di sebelah Dira dan mengusap lembut kepala anak sulungnya. 

“Dira mendapat tugas bercerita tentang liburan kemarin, dan lusa dibacakan di depan kelas. Dira ‘kan kemarin hanya di rumah tidak bepergian ke mana pun.” Dira mengutarakan kekesalannya. 
“Dira ‘kan melakukan banyak kegiatan bersama ibu. Bukankah ini saat yang tepat bagi Dira untuk mengajak teman-teman  menyelamatkan bumi kita?” Ibu memberi ide cemerlang. 

Selama dua minggu liburan ibu membuat proyek keluarga rumah minim sampah. Ibu mengajak seisi rumah untuk bergaya hidup positif dengan meminimalkan sampah dan mengurangi bahan sekali pakai dalam kehidupan sehari-hari. Bahan sekali pakai seperti plastik, botol bekas, dan tisu. Selain itu, ibu juga mengajak Dira menimbang sampah setiap hari. Kelihatannya pekerjaan yang sia-sia, tetapi Dira jadi belajar berhitung.

Setiap hari, hampir satu kilogram sampah dihasilkan oleh rumah Dira. Apabila ditambah dengan rumah yang lain, tentu semakin banyak. Itu baru satu hari, padahal setiap hari setiap rumah menghasilkan sampah. Pantas saja mobil pengangkut sampah selalu penuh. 

Dira sendiri tidak tahu nasib sampah setelah diangkut, tetapi kata ibu sampah itu hanya berpindah dan semakin menumpuk di tempat pembuangan akhir. 
***

Hasil Tak Mengingkari Usaha
Karya: Umi Haniah


Pulang sekolah Hanif berjalan sendiri, tidak seperti biasanya yang selalu bersama teman-teman. Langkahnya tergesa-gesa, sesekali menendang kerikil di jalanan. Raut wajahnya terlihat murung dan sedih, tak menunjukkan keceriaan sama sekali. Ditambah tangan kecilnya sesekali mencabut rumput liar yang tumbuh di sepanjang jalan.

Aku harus bisa dan aku harus belajar, Hanif bicara sendiri dalam hatinya.
Tidak lama kemudian, sampailah Hanif di depan pintu rumah.
“Bu ... Ibu ...,” kata Hanif memanggil ibunya 
“Iya, Nak? Ibu lagi di dapur,” jawab ibunya.

Hanif pun menghampiri sang ibu, lalu bertanya, “Ibu sedang masak apa?”
“Masak sayur sama ikan  kesukaanmu, Nak.” Ibu tersenyum, kemudian kembali melanjutkan kegiatan. Hanif sendiri hanya mengangguk seraya duduk di samping ibunya.

“Ibu heran. Biasanya kamu paling senang kalau ibu masak makanan kesukaanmu. Tapi hari ini, kamu kok murung? Ada apa?” 
Hanif masih diam. Tidak ingin bercerita sama sekali. Ibu mengerti bagaimana watak anaknya itu dan memutuskan untuk menunda pekerjaan dahulu. 

Istana Kaus Kaki
Karya: Tri Handayani


Senin pagi, suasana di rumah Dinda agak tegang. Rupanya kaus kaki putih yang biasa digunakan ke sekolah belum ketemu. Sudah dicari di berbagai sudut ruangan, ternyata belum kelihatan juga. Dinda menyalahkan Mbok Yem, pembantu yang kemarin mencuci semua pakaian  termasuk kaus kakinya selama bunda sakit. 

“Karena Mbok Yem, aku jadi susah!” umpat Dinda. 
“Nanti kalau aku dipanggil Bu Laila, bagaimana?” lanjut Dinda seperti mau menangis. Ia malu kalau tidak memakai seragam sesuai peraturan, maka akan disuruh menghadap Bu Laila sebagai Guru Bimbingan Konseling. Guru yang bertugas membantu mengarahkan dan menyelesaikan masalah anak-anak di sekolah. 

Bunda yang belum sembuh benar, menasihatinya sambil tersenyum. Ia mendekati Dinda yang bermuka masam.
“Jangan menyalahkan orang lain,” kata bunda lirih. Tenaganya belum pulih benar. Badannya masih lemas, “pakai yang ada dulu,” bujuk bunda, mengelus kepala Dinda.
Bunda sengaja tidak meminta ayah untuk membantu mencarikan kaus kaki Dinda. Pasalnya, bukan kali ini saja Dinda mencari kaus kaki pada saat mau berangkat sekolah. Ia ingin agar Dinda merubah sikapnya yang kurang rapi menyimpan barang milik sendiri.

Dinda benar-benar gelisah. Ia sudah rapi mengenakan seragam merah putih. Tinggal kaus kaki saja yang belum dikenakan. Jarum pada jam dinding terus berputar, matahari pun semakin tinggi. Ia tidak mau memakai kaus kaki yang lain.

“Aku tidak akan masuk sekolah hari ini.” Dinda mengatakannya dengan nada kesal. Bunda tak menyahut. Ia berpikir bagaimana cara mengubah perilaku Dinda.
“Baiklah, Dinda boleh izin hari ini, tapi syaratnya harus mematuhi peraturan yang bunda buat.” Bunda kembali memberi nasihat.
Dinda terdiam dan masuk ke kamarnya tanpa berkata-kata. Kalau tidak masuk akan tertinggal pelajaran. Akan tetapi, bunda membiarkan Dinda masuk ke kamar, berharap putrinya akan menyadari kekeliruannya. Sementara itu, Ayah Dinda berangkat ke kantor setelah berpamitan kepada bunda. 


Jam Tangan Meisya
Karya: Naimah Harmoyo


Anak perempuan dengan rambut dikepang dua itu bernama Meisya. Seorang murid baru di kelas empat, kelasku. Aku mendengar dari cerita Jossa, Ayah Meisya pindah ke kota ini beberapa bulan yang lalu, kebetulan rumah Jossa berdekatan dengan rumah Meisya. Jossa bilang, keluarga Meisya itu cukup kaya dan memiliki mobil mewah berwarna hitam. 

Pagi ini saat istirahat, aku melihat Meisya menangis di pojok kelas. Keadaan kelas masih sepi, karena teman-teman banyak yang bermain di halaman sekolah.
“Kamu kenapa, Meisya?” tanyaku hati-hati.

Melihatku mendekat, Meisya bergegas menghapus air matanya. “Jam tanganku hilang. Aku takut kalau nanti Mama marah,” ucapnya.
“Bukankah tadi pagi sebelum olahraga masih kamu pakai?”
“Iya, tapi aku lepas sebelum ke lapangan dan aku taruh di dalam sini.” Meisya menunjukkan bagian tasnya.
“Radit!” Tiba-tiba Jossa masuk ke kelas. Kulihat dahinya masih berkeringat. “Apa yang kamu lakukan sama anak baru ini?” tanya Jossa penuh selidik.
“Ssttt ... pelankan suaramu, Jos. Tak usah teriak begitu.”
“Lho, kamu apakan Meisya? Kok nangis?” tuduh Jossa.
“Bukan aku yang buat dia nangis, kok.”
***


Kapok
Karya: Iin Takim Wahyuni


Nurus Syamsiyah  membuka ikat pinggang yang mengeratkan rok seragamnya. Blebh! Rok panjang berwarna merah anak kelas satu sekolah dasar itu langsung jatuh melorot ke lantai. Untunglah ia masih memakai stoking. 

“Huh!” Nurus melenguh. Ia mengakui badannya benar-benar kurus. Tak heran banyak teman-teman sekolah menjulukinya 'Nurus Si Kurus'! 
“Nuuur! Sudah selesai ganti bajunya? Lekas cuci tangan dan kaki. Segera makan siang!” seru ibunya dari luar kamar. Nurus masih terpaku di depan kaca almari pakaiannya. Sebal juga mendengar imbauan orang tuanya itu.

Ia suka ibu selalu memperhatikannya. Namun, tidak untuk perintah agar segera menyantap makan siangnya. Masakan ibunya memang sering kali komplet, memenuhi unsur 4 sehat 5 sempurna walau tidak selalu mewah. Sayangnya juga, sering tidak klop dengan selera makan Nurus.

“Hih!” Gigi geliginya yang kehitaman dan lubang-lubang karena kebanyakan makan permen,  sudah saling bertaut membayangkan kekesalannya harus mengunyah beragam sayuran yang dibenci.
“Sama ayam crispy, 'kan?” tanya Nurus sesampai di ruang makan. Saat tangannya membuka tutup tudung saji,  ia hanya menemukan  sayur kuah dan  beberapa jenis lauk ikan laut. Spontan bentuk mulutnya membulat dan maju berapa senti.
“Mana sosisnya?” Suara Nurus mulai merajuk.
“Beberapa hari ini sudah ayam krispi dan sosis terus. Apa tidak bosan? Ikan laut juga lezat dan bergizi,” sahut ibu  geleng-geleng kepala.
“Enggak bosan, Nur suka. Nur benci makan lauk yang banyak durinya!” tolak Nurus seraya  tetap berdiri.
“Pelan-pelan dan hati-hati dong makannya, biar durinya tidak tertelan ....”
“Nggak suka, titik! Ibu saja yang habisin ikan laut dan sayurnya!” pungkas Nurus dengan nada ketus, buru-buru mau balik ke kamarnya. Akan tetapi, ibu lekas mencekal pergelangan tangannya.
“Kembang gula dan mi remasmu ketinggalan di dekat rak sepatu,” bisik ibu dengan pandangan penuh arti. Nurus menunduk pias, karena ketahuan membeli jajanan tidak sehat yang sudah dilarang oleh ibu.
“Bener, nggak mau makan?” Ibu memastikan. Nurus menggeleng.


Mandi Sendiri itu Menyenangkan
Karya: Tri Nur Ana Rahayu


Sikap ramah, sopan, dan senang membantu, membuat keluarga Dahlan sangat disenangi oleh warga. Walaupun keluarga sederhana, tetapi keadaan itu tak pernah menjadikan mereka lupa pada sesama. 

Pak Dahlan adalah seorang petani yang rajin. Dia berangkat ke sawah pada pagi hari, dan kembali ke rumah disore harinya. Pak Dahlah menggarap sawahnya dengan sabar dan semangat. Sementara itu, Ibu Dahlan memiliki sebuah warung kecil yang menyediakan berbagai keperluan warga desa. Ibu Dahlan selalu melayani pembeli dengan ramah, hingga membuat warungnya ramai. 

Bapak dan Ibu Dahlan memiliki seorang anak laki-laki bernama Rino, seorang anak kelas 1 SD. Rino sangat senang hidup di desa. Setiap sore dia bisa bermain dengan teman-temannya. Mereka sering bermain di sungai sambil mencari ikan, bermain petak umpet, atau bermain layang-layang. 

Di pagi hari, Ibu Dahlan selalu bangun sebelum ayam jantan berkokok. Dia memasak makanan untuk sarapan keluarga yang dicintainya. Setelah selesai memasak, Ibu Dahlan juga menyiapkan pelengkapan untuk Rino pergi sekolah. 

Setiap hari, keluarga Dahlan selalu sarapan bersama di meja makan. Kegiatan ini membuat keluarga mereka selalu rukun. Selesai sarapan, Pak Dahlan pergi ke belakang rumah. Di belakang rumah ada kandang ayam yang dibuatnya sendiri. Pak Dahlan memiliki 6 ekor ayam yang dipelihara. Ayam-ayam Pak Dahlan gemuk dan sehat karena rajin diberi makan. Rino selalu berangkat sekolah bersama teman-temannya. Dia tidak diantar orang tua karena jarak rumahnya dengan sekolah cukup dekat. 


Mandiri Itu Emas
Karya: Budi Peni


“Lif, sudah siang, Nak. Ayo bangun, nanti kesiangan, lho.” Perlahan, ibu mendekati Alif dengan memakai kursi rodanya. Ibunya sakit stroke sehingga tidak bisa jalan. 
“Dingin sekali, Bu,” jawab Alif sambil menarik selimutnya. 
“Iya, memang dingin sekali. Tapi kamu harus sekolah pagi ini. Sekolah itu penting. Bukannya Alif ingin jadi pemain sepak bola?” Ibu berusaha membujuk Alif yang masih malas untuk bangun.

“Iya, Bu. Tapi ....” Alif berusaha duduk walaupun rasanya malas sekali untuk bangun. 
Alif bercita-cita menjadi pemain sepak bola karena ingin membahagiakan ibunya. Jika diingitkan ibunya tentang cita-cita, pasti Alif semangat untuk belajar. 

Penuh semangat, Alif melipat selimutnya. Dia memang sudah terbiasa melakukannya, meski lipatannya tidak bisa rapi. Segera Alif mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Setelah mandi, dia sarapan. 
“Sarapan sama tahu goreng, Nak,”  kata ibu.
“Iya, ini sudah cukup,”  ucap Alif. 
“Nanti sepulang sekolah, tolong temani periksa ke dokter ya, Nak.” 
“Tapi ... hari ini ‘kan Alif harus ikut pertandingan sepak bola,” kata Alif sambil mengambil gelas untuk minum.
“Aduh ... gimana ya, padahal obat ibu sudah habis. kalau tidak minta obat hari ini, ibu akan kesakitan.” 
“Bu, Alif berangkat dulu.”  Alif berpamitan sambil bersalaman pada ibu, tanpa melanjutkan pembahasan ke dokter. 
“Iya, hati-hati di jalan.”
Alif pum mengambil sepedanya, kemudian dia berangkat.  Hanya membutuhkan sekitar 15 menit saja, Alif pasti sudah sampai di sekolah.
Di jalan, Alif berpikir, kalau aku ikut pertandingan, terus ibu bagaimana?
Braak!

Sepeda Alif ambruk karena menabrak trotoar. Beruntungnya, dia masih selamat karena tidak ada mobil di belakang.  Namun, lututnya lecet sedikit dan berdarah.  
“Aduuh ....” Dia meringis sambil menahan sakit. Sampai di sekolah, Alif menemui bu guru untuk minta obat luka. 


Pahlawan Cilik dari Pulau Mentawai
Karya: Yopi Sartika


Namaku Lara, anak perempuan dari Suku Mentawai. Temanku bernama Ibernat dan Katerina. Kami satu sekolah di sekolah dasar negeri di daerah kami dan duduk di bangku kelas 5 SD. Kami sering berangkat sekaligus pulang sekolah dengan berjalan kaki bersama. Sekolah kami memang tidak jauh dari uma  kami.
Ibernat adalah anak laki-laki petualang yang sangat lihai mendayung perahu. Kami sering menumpang di perahu Ibernat untuk menyeberang dari satu pulau ke pulau lain di Mentawai. Sedangkan Katerina merupakan anak yang pintar. Kami sering minta diajarkan beberapa pelajaran, terutama Matematika. Aku anak perempuan yang suka membantu ina  di dapur. Rasanya aku senang jika sudah memasak sikobo  dan ikan bersama ina.

Sipora merupakan pulau tempat tinggal kami. Salah satu Pulau di Kepulauan Mentawai. Pulau-pulau yang lain juga ada, seperti Pulau Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Siberut. Tempat tinggal kami indah sekali. Pantai dengan pasir putih berkilau dan laut luas membentang. Angin bertiup sepoi-sepoi dihiasi dengan gerakan nyiur melambai. Oh ... betapa indahnya kampung kami.

Laut Pulau Mentawai memiliki ikan yang banyak. Salah satu mata pencaharian penduduk di sini adalah nelayan, termasuk bajak . Para nelayan menangkap ikan secara tradisional tanpa merusak alam bawah laut. Suatu pagi, saat aku berangkat ke sekolah, aku bertemu bajak di pantai. 


Pelajaran di Kandang Ayam
Karya: Wiwik Dwi Rahayu Wilujeng


Di sebuah pedesaan di lereng pegunungan Menoreh, hiduplah seorang gadis kecil bernama Farah. Bersama ayah, bunda, dan seorang kakak perempuannya yang bernama Hanan, Farah menempati sebuah rumah yang agak luas, seperti umumnya rumah di  daerah pedesaan. Dia juga sangat menyukai hewan peliharaan.

Di pekarangan belakang rumah, ada beberapa macam hewan peliharaan, di antaranya ayam, kucing, kelinci, dan ikan. Usia Farah saat ini  baru 7 tahun dan sudah duduk di kelas 1 SD. 

Satu tahun yang lalu, pada hari ulang tahun yang ke-6, ayah memberinya  hadiah 5 ekor ayam. Sejak itu, Farah mempunyai kesibukan baru, yaitu sebelum berangkat sekolah dan pada sore hari sesudah salat Asar selalu memberi makan ayam peliharaannya. Ayam-ayam itu dipelihara dengan baik, sehingga berkembang menjadi banyak. Ayah juga sengaja membuatkan kandang agar ayam-ayam mikik Farah tidak berkeliaran mengganggu tetangga. Ada kandang agak besar untuk ayam-ayam yang sudah dewasa dan membuat kandang boks untuk ayam-ayam yang masih kecil.

“Kur ... kur, ayo makan dulu. Aku harus segera mandi, nih,” teriaknya sambil menuangkan pakan ayam pada wadah-wadah yang sudah mulai dikerumuni ayam-ayam kelaparan.

Kemudian Farah mendekati kandang ayam yang berisi anak-anak ayam yang belum lama menetas. Usia anak-anak ayam tersebut baru sekitar 1 minggu, sehingga makanannya pun berbeda dengan pakan ayam yang sudah besar.
“Assalamualaikum, apa kabar anak-anak ayam? Kalian juga lapar, ya?” sapa Farah pada anak-anak ayamnya  sambil menuangkan pakan. Sementara itu, ada satu  induk ayam yang mengitari kandang boks sambil berkotek. Farah memperhatikan si induk ayam dan  tiba-tiba.

“Bunda .... Bunda!” Farah berteriak  memanggil bundanya.
“Ada apa, Dik? Bunda sedang menyiapkan sarapan nih, mengapa harus berteriak-teriak?” ujar bunda sambil berlari mendekati Farah. 
“Bolehkah anak-anak ayam ini aku turunkan?” tanya Farah, memandang bundanya penuh harap. 
“Mengapa anak-anak ayam itu  harus diturunkan?” Bunda balik bertanya.
“Aku kasihan melihat induk ayam, dia sepertinya kebingungan mencari cara untuk mengambil anak-anaknya. Induk ayam itu ingin dekat dengan anak-anaknya, Bun,” ucap Farah dengan ekspresi muka sedih, sepertinya dia ikut merasakan kesedihan si induk ayam. 

“Oh, begitu ... tapi nanti jika anak-anak ayam itu kita lepaskan, mereka bisa  terinjak-injak oleh ayam yang besar, seperti yang dulu itu lho, Dik.” Bunda bertutur dengan kata yang lembut. Farah pun mengangguk mengerti.


Ramadhan yang Berkesan
Karya: Eti dwi haryanti


“Ma ... Mama,” teriak Divisi saat baru membuka pintu rumah. 
Suasana sunyi, seperti tak berpenghuni. Divi terus berjalan ke setiap ruangan sambil memanggil-manggil mamanya. Rumah Divi memang banyak sekat ruangan. Ada 3 kamar kosong bekas kamar kakak-kakaknya yang sekarang sedang sekolah di luar kota. Saat ini Divi hanya tinggal bersama ibunya, sedang ayahnya bekerja di luar kota sebagai kontraktor. 
Sampai di satu ruangan kamar, Divi berhenti sejenak. Dia seperti mendengar suara rintihan. Perlahan, dia membuka pintu dan melihat ke sekeliling ruangan, tidak ada siapa pun di sana. “Ma ...?” panggilnya lagi. 
Hati Divisi berdebar-debar, kemudian dia berlari ke sebuah kamar mandi yang ada di kamar kakaknya. Dia membuka pintu dengan perlahan dan langsung berteriak memanggil sang mama. Tangis Divi pecah saat melihat mamanya yang pingsan di dalam kamar mandi. Sebisa mungkin dia menggoyangkan tubuh mama sambil menangis. Betapa terkejutnya dia saat melihat tangan mama yang penuh dengan darah. 

Sesegera mungkin dia berlari keluar sambil terus menangis. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan, karena dalam pikirannya hanya ada perintah untuk segera mencari pertolongan pada tetangga.


Romi Juara karena Membaca
Karya: Marsilah


“Nda, boleh malas belajar, nggak?” tanya Romi tiba-tiba mengagetkan bundanya yang sedang menyetrika.
Akhirnya Bu Erna—Bundanya Romi—pun menghentikan kegiatan menyetrika, didekatinya Romi dan bertanya pelan-pelan, “Kenapa Romi nggak mau belajar? Romi sakit?” 
“Romi malas, Nda,” spontan jawab Romi membuat Bu Erna tertegun.
“Kenapa, Rom?” 
“Ya soalnya Romi nggak bisa, Bunda,” jawab Romi jujur, “Romi nggak bisa membuat seperti yang diharapkan Bu Guru. Romi nggak bisa mengerjakan PR dari Bu Guru. Romi juga takut disuruh maju mengerjakan di papan tulis.”
Romi hampir menangis mengadukan semuanya. Biasanya Romi selalu berani. Namun, sudah dua hari ini dia selalu pulang dengan wajah lesu, seperti ada sesuatu yang tidak beres. 
“Ya sudah, sekarang Romi makan dulu, lalu bobo siang, ya,” bujuk bunda lembut.
“Ya, Bunda.” Romi pun berlalu.
Ketika sore, Bu Erna mencoba mendekati Romi yang sedang menonton TV. Sepertinya dia asyik dengan acara yang disajikan. Disapanya pelan, “Nonton apa sih, Rom? Asyik banget. Boleh Bunda ikut nonton?”


Sahabat Sayur
Karya: Irma Mayra


Farah Adinda, murid kelas 1 di SDIT Tunas Mulia. Anaknya santun, ramah, dan selalu ceria. Selain itu, Farah adalah anak yang suka menolong. Namun Farah juga punya kekurangan, yaitu susah makan sayur.

Sebenarnya sejak kecil, ibu sudah membiasakan Farah untuk makan sayur. Bahkan Farah pernah menjadi contoh di keluarga besarnya, karena paling gampang makan sayur. Namun, semenjak duduk di bangku kelas 1 ini, Farah mulai susah makan sayur. Ibu kebingungan, bagaimana cara membujuknya agar mau makan sayur kembali.

“Assalammualaikum, Ibu. Farah pulang,” kata Farah suatu sore. 
Ibu bergegas menyambutnya, sambil menjawab, “Waalaikumsalam. Capek, ya?” 
“Lumayan,” jawab Farah sambil berselonjor di ruang tamu.
“Istirahat sebentar, lalu persiapan mandi, ya. Jangan lupa keluarkan tempat bekal makan dan minumnya. Ibu mau beres-beres dulu,” kata ibu.
“Siap, Bu,” jawab Farah.
Ibu mulai menyapu halaman, sedangkan Farah bergegas ke kamar. Mengeluarkan botol minum dan tempat makan yang dipakai membawa bekal sekolah tadi. Lalu bersiap untuk mandi. Setelah mandi, Farah membantu ibu menyiram bunga di halaman samping. Ibu mulai pindah kesibukan di dapur. Mencuci piring dan menyiapkan makan malam.

“Farah, kenapa sayurnya nggak dimakan lagi?” tanya Ibu saat melihat cah kangkung yang masih utuh di tempat bekal Farah.
“Farah nggak suka, Bu,” jawab Farah.
“Apa masakan ibu kurang enak?” tanya ibu.
“Lelenya enak, tapi kalau sayurnya aku nggak tahu,” jawab Farah.
“Sayur itu sahabat manusia, lho. Sumber vitamin dan serat bagi tubuh kita.”
“Tapi Farah nggak suka, Bu. Jangan memaksa ya, please,” kata Farah sambil memasang wajah memelasnya. Ibu hanya mendesah tak berdaya.



Sepeda Hias Radit
Karya: Raffi Rajj


Bel masuk berbunyi. Anak-anak segera masuk ke kelasnya masing-masing. Radit berjalan masuk ke kelas 5A, bersama Reza dan Reno. Hari ini ada pengumuman lomba tujuh belasan. Pak kepala sekolah, akan mengumumkan lomba yang bisa diikuti oleh murid-murid. Semua murid-murid, dikumpulkan di aula. 
Ada macam-macam perlombaan, seperti lomba makan kerupuk, balap karung, membawa kelereng dalam sendok, dan lomba sepeda hias. Radit dan kawan-kawannya ingin mengikuti lomba sepeda hias. Mereka sangat bersemangat, karena semua sepeda hias akan dibawa karnaval keliling kampung. Pasti menyenangkan karnaval naik sepeda hias. 
***

Bel pulang berbunyi, murid-murid berlarian meninggalkan kelas. Semua ingin segera sampai ke rumah, begitu juga dengan Radit. Hari ini ayahnya pulang dari Bandung, ia akan minta tolong ayah, untuk membantunya menghias sepeda. Sambil menaiki sepedanya Radit membayangkan sedang mengikuti karnaval besok. Ah … tak sabar rasanya menunggu sampai hari Minggu tiba.
“Asalamualaikum.” Radit memberi salam sebelum masuk ke rumah.
“Waalaikumsalam,” jawab ibunya dari dalam rumah.
Radit melihat ibunya sedang bicara di telepon. Radit mendekat dan mencium tangan ibunya. Setiap berangkat dan pulang sekolah, ia selalu mencium tangan ayah dan ibunya. 
“Ayah mana, Bu?” tanya Radit kepada ibu.
“Ayah masih di Bandung, Nak,” jawab ibunya.
“Ayah tidak jadi pulang hari ini, Bu?”
“Ayah tadi telepon. Kemungkinan hari Minggu,” jawab ibunya lagi. 
“Yaaah.” Radit tampak kecewa. “Siapa yang nanti membantu menghias sepedaku?” tanya Radit, wajahnya masih murung.
“Kan ada ibu, Nak. Sudah dong, jangan murung lagi,” hibur ibu seraya membelai rambut ikal Radit.

Sepeda Istimewa Umar
Karya: Supriyati


          “Bundaaa ...!” teriak Umar sambil berlari memasuki rumah. Begitu sampai di dalam, Umar langsung meletakkan tas di atas meja belajar dan melepaskan sepatunya.
“Lho ... Abang sudah pulang, ya. Kok tidak ucap salam dulu?” sambut bunda dengan ramah.
“Oh iya, abang lupa. Assalamualaikum, Bunda,” jawab Umar sambil menjabat tangan bundanya.
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh, Abang Umar. Bagaimana tadi belajar di sekolahnya? Saleh, tidak?” tanya bunda sambil membantu Umar melepaskan baju seragamnya.
“Saleh, dong. Kan abang tidak ganggu teman. Abang juga tertib salat dan mengajinya. Malahan dapat nilai B karena salah dua.” Umar tertawa kecil. Bunda pun ikut tersenyum melihat tingkah anak pertamanya itu. 
“Alhamdulillah,” kata bunda.
Setelah mengganti pakaian, Umar mendekati bundanya. Ia menceritakan teman-teman sekolah yang tadi ramai membicarakan tentang sepeda.
Rakha memiliki sepeda roda dua berwarna biru, sepeda Zidan berwarna merah, dan Khansa yang memiliki sepeda berwarna merah muda dan beroda empat. Umar juga menceritakan Rasya yang terjatuh ke selokan saat belajar sepeda roda dua.  

“Bunda ..., boleh tidak abang minta sepeda?” tanya Umar di akhir ceritanya. 
Bunda mengangguk sambil menatap wajah Umar. “Boleh, Bang. Tapi bunda belum tahu kapan bisa membelikan.”
Tampak raut wajah Umar berubah. Ia tahu bundanya tidak mempunyai uang banyak untuk membelikan sepeda. 
“Insyaallah, jika bunda punya rezeki lebih, kita beli sepeda ya, Bang. Kita mohon bareng-bareng sama Allah,” sahut bunda, Umar pun mengangguk.

AKU ANAK HEBAT 


Senang ya, menjadi anak hebat yang mempunyai banyak teman, sekaligus disayang ayah dan bunda. Banyak hal yang biasa kita lakukan sebagai anak hebat.

Aku berani ke sekolah sendiri, aku juga pintar membaca. Aku tak takut Matematika. Horee ….! Aku juga juara lomba. Aku bahkan bisa mandi sendiri dan menyayangi Pus. Rumah dan sekolahku juga bersih tanpa sampah plastik.
Buku “Aku Anak Hebat” ini berisi 22 cerita anak hebat Indonesia. Cerita pembangun karakter mandiri, berani, peduli sesama, dan peduli lingkungan.
Ayo baca bukunya dan nikmati petualangan seru menjadi anak hebat!


Bagi yang ingin memesan buku bisa langsung pesan ke nomor 0812-1400-7545 atau langsung klik di PenerbitMJB

Salam Inspirasi




Powered by Blogger.