-->
Menu
/


www.Momsinstitute.com - Tulisan adalah jejak pikiran, dan buku adalah jejak karya yang abadi. Jika kamu merasa sendiri, menulislah dan berbagilah dengan penamu, agar bukan hanya keluh kesahmu yang keluar tetapi berbagi inspirasi untuk memberikan yang terbaik pada pembaca. 


Bekasi, 1997

Suara tangis bayi memekik malam itu. Bibir tipis Sarah pun membuat lengkungan simpul dengan sisa-sisa tenaganya. Dua orang malaikat kecil yang masih kemerahan itu ditatap saksama.

Dalam hatinya, Sarah merasa sedih dan senang. Seluruhnya seakan bercampur aduk tak keruan. Rasanya sedih jika mengingat dua malaikat kecilnya itu akan hidup dengan penuh penderitaan. Akan tetapi di sisi lain, ia juga senang karena tak lagi sendirian.



Ya, ia harus terlihat seperti itu, selayaknya seorang ibu yang mendapat kejutan kehadiran anak kembar ke dunia setelah penantian yang melelahkan.
Si kakak akan ia namai Raza, yang sepertinya mewarisi hidung sang ayah dan bibir tipis miliknya. Kemudian Zafran, si kecil yang mewarisi sebagian besar wajah ayahnya, terutama mata elang yang indah itu. Rambut mereka berwarna cokelat, salaras dengan bola mata cokelat terang. Mungkin semuanya warisan ayah mereka, lelaki yang kini tak lebih dari kenangan pahit baginya. Jeremy Alexander.

Pada akhirnya, yang paling ia butuhkan adalah sebuah semangat serta sedikit harapan kebahagiaan  yang akan menyelimuti keluarga kecilnya. 
Sekembalinya ke rumah, yang terpikir hanyalah cara merawat dengan baik, menjauhkan mereka dari orang buruk, dan bertahan hidup. Sarah mendekap Zafran dalam gendongan, menenggelamkan tubuh mungilnya dalam kasih. Hingga rengekannya berubah menjadi suara napas lembut yang nyaris tak terdengar. Sementara itu, Reza hanya menggeliat dalam selimutnya. Bermimpi.

Tentang Hidup

Ada kalanya bulan tersenyum di balik awan, menyisakan pantulan redup untuk bumi. Di sisi lain pun bintang selalu memastikan dirinya ada meski kadang tak terlihat. Teman yang setia. Itulah yang Raza rasa, setiap kali memandang langit malam yang berbalut gelap. Ah, tetapi malam ini berbeda. Hujan turun cukup deras.

“Za?”
“Eh, Bang Yusuf,” ujar Raza dengan senyum yang terukir. Simpul, tetapi sulit diartikan.
“Ngapain?” Yusuf bersandar pada tepian jendela.
“Hm .... entah.” Raza terdiam menatap butiran yang berjatuhan itu. “Bang, anta pernah kangen rumah, nggak?” lanjutnya. 
“Eh??” seru Yusuf terkejut.
“Ah … nggak jadi. Konyol banget pertanyaannya.” 
“Kalo dipikir-pikir udah lama juga ana nggak pulang, tapi kita ‘kan punya amanah di sini. Jadi malem ini, istirahat yang cukup, ya.” Yusuf menepuk-nepuk pundak Raza dan berlalu ke dalam.
Amanah, ya? Sebagai Ustaz Wiyata bhakti, batin Raza. 
***

“Oi! Makan, Za. Makanannya nggak ana racunin, kok.” Yusuf tersenyum jail, lalu kembali melahap makanannya.
“Kalo diracunin, yang ada kita berdua mati, dong. Padahal mati itu ribet,” decak Raza menanggapi.
“Pembahasannya ke mati aja,” balas Yusuf.
“Habisin aja makanannya.” 
Mendengar ucapan Raza, Yusuf kembali tersenyum cukup, tetapi kali ini lebih lepas daripada sebelumnya. 
Selama Yusuf makan, Raza hanya sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia merasa ada sesuatu yang aneh pada hati dan pikirannya, seperti sulit untuk menjadi sebuah kesepakatan yang utuh. 
“Ana duluan, ya. Assalamualaikum.” Yusuf tiba-tiba pamit seraya tersenyum manis.
“Waalaikumussalam. Pergi aja … yang jauh kalo bisa.” 
Tidak ada respons apa-apa dari yang diteriaki. Raza mendesah, kembali larut dalam kesunyian yang tercipta di rumah ini. Tiba-tiba sebuah ketukan pintu terdengar nyaring. Seorang bocah 10 tahun menunggunya di ambang pintu dan memberikan sebuah bungkusan hitam.
“Titipan dari Mama,” katanya.
“Oh, makasih. Bilangin mamanya ya, terima kasih banyak,” ucap Raza dan bocah itu segera berlari pulang.
Hm ... lauk, ya? Buat Bang Yusuf aja, deh! pikir Raza.
***

“Za, i’m home,” seru Yusuf begitu sampai di ruang tamu 3 jam kemudian. Akan tetapi, suasana rumah terasa sepi. 
Tanpa sepengetahuan Yusuf, rupanya Raza masih melamunkan yang tadi. Kalimat yang sama dari masa lampaunya itu, seperti nostalgia yang sia-sia. Ya, dulu ia selalu menanti di ruang tamu, menunggu ayahnya membuka pintu dan berkata begitu, meskipun berkali-kali gagal.
“Za? Kenapa, sih? Mikirin ana, ya?” Yusuf menepuk pundaknya cukup keras dan tertawa kecil.
“Eh? Ngg ...”
“Begini, nih. Kebiasaan, mikir mulu. Hidup tuh dijalanin, bukan dipikirin.” Yusuf lalu merangkul mantan adik kelasnya itu. “Emang ada apa, sih?” lanjutnya.
“Nggak ada,” jawab Raza, “lagian kalo nggak dipake buat mikir, nanti otaknya tumpul,” sambungnya, menyeru perkataan Yusuf. 
“Iya, sih. Hari Minggu ana ada acara, tapi paling tiga hari aja.”
“Ya udah,” seru Raza datar.
“Iya, ana mau siap-siap dulu!” Yusuf pergi.
“Hari Minggu, ya? Ana juga mau pergi, kok.” Raza tersenyum hampa. Matanya pun kembali menatap keluar, menikmati arak-arakan awan di atas sana.\

To: My Little Family

Sebelumnya, aku mau minta maaf karena nggak ada kabar apa pun dariku. Aku juga sengaja pergi diam-diam dari London. Aku cuma mau jaga imanku dan pulang ke Indonesia. Kalian tahu, ‘kan? Jalanin syariat Islam di Belanda itu susah banget.

Satu lagi yang harus kalian tahu, aku sakit. Emang belum terlalu parah, tapi juga nggak bisa ditebak. Dan … aku takut! Aku takut hal itu datang. Aku takut gelap.
Jadi, Pa ... maafin aku, ya. Kuharap Papa bisa bangga dengan apa yang aku lakukan sekarang. Zafran, Fey, kakak juga minta maaf, ya. Mungkin nggak bisa ngabisin waktu bareng kalian lebih lama lagi.
Entah kenapa hari ini aku gelisah. Aku takut, apa besok akan ada sesuatu yang buruk, ya?
Tapi apa pun yang terjadi, Fey … aku nggak bisa janji apa pun ke kamu. I’m sorry, but, i’ll leave you again!
Ya … aku udah kehabisan kata-kata. 
Aku berharap kalian bisa saling menjaga dan seandainya setelah ini aku nggak punya waktu lagi, please don't cry! Karena selama ini, kalian bisa tersenyum tanpa aku! Iya, ‘kan? Pasti semuanya akan sama.
Maaf … 
Sebenernya aku nggak mau kalian ngerasa kehilangan. Makanya, aku memilih menghilang selamanya dari hidup kalian sejak saat itu. Tapi ternyata aku bener-bener kangen sama kalian. Aku mau terus mendekap semua ini, bersama kalian.
Meski ... kalau boleh berharap, aku berharap kita nggak pernah kenal aja! Biar aku nggak bikin luka di hati kalian.
Tapi aku bersyukur, bener-bener bersyukur punya kalian. Oh ya, tolong kasih tahu Bang Yusuf, dia nggak sendiri, karena masih banyak orang yang peduli sama dia. Kasih tahu dia, aku nggak mau lihat dia sedih!
Ja ... Sayounara![ Kalau begitu, selamat tinggal]

Bagi yang ingin memesan buku bisa langsung pesan ke nomor 0812-1400-7545 atau langsung klik di PenerbitMJB

Salam Inspirasi




2 comments:

Powered by Blogger.