www.MomsInstitute.com - Sebuah antologi yang menceritakan berbagai kisah guru dalam menjalani profesinya. Ada yang berawal dari keterpaksaan (karena keinginan orang tua untuk menjadi guru), ada pula yang merupakan cita-cita sejak lama, hingga akhirnya guru menjadi profesi yang menyenangkan dan membanggakan. Berbagai kisah inspiratif guru tertuang dalam buku ini.
GURU MENULIS
Profesi yang Membanggakan
Oleh: Esterina Nurjanti
Saat saya menempuh dunia perkuliahan, cita-cita saya bukanlah menjadi seorang guru. Saya memiliki cita-cita kuliah di bidang kesehatan. Inginnya kuliah keperawatan atau kebidanan. Namun apalah daya. Karena kami tiga bersaudara, dua kakak saya sudah menjadi perawat, orang tua menginginkan saya untuk melanjutkan kuliah di keguruan meneruskan perjuangan bapak. Awalnya ada rasa kecewa, sedih, dan patah semangat untuk kuliah. Namun itu semua harus tetap saya jalani.
Pada awal kuliah saya masih merasa belum memiliki semangat untuk belajar. Kuliah pada bidang yang kurang saya suka. Awal semester Program Pengenalan Lingkungan (PPL) pada sebuah sekolah swasta di Yogyakarta. Saya melihat suasana mengajar di sana pada waktu itu. Pada awal PPL, saya mulai menyukai karakter anak-anak saat mereka belajar dan bermain. Karakter anak-anak yang lucu, selalu ceria menumbuhkan rasa cinta saya terhadap anak-anak.
Di SD tempat saya PPL ada siswa kelas 2 yang mengalami kelainan autis. Siswa yang dilihat secara sekilas seperti anak-anak normal pada umumnya. Ternyata setelah saya mengamati selama proses pembelajaran, barulah terlihat bahwa anak tersebut berbeda dengan yang lain. Terkadang menangis sendiri tanpa meneteskan air mata, menyanyi di dalam kelas, melempar sepatu sesukanya. Ya, begitulah anak autis. Suka dengan dunianya sendiri. Hal yang membuat saya heran adalah kesabaran guru kelasnya dalam menangani anak tersebut. Bahkan penguasaan kelasnya luar biasa. Saat anak autis tersebut asyik dengan dunianya, tidak ada satu pun temannya yang melihat ke arahnya. Semua tetap fokus belajar.
Setelah selesai kuliah, tahun 2005 saya memutuskan untuk mencari pengalaman kerja di SD swasta di Kulon Progo. Honor dalam saya bekerja bukanlah menjadi tujuan utama saya bekerja. Tetapi sebagai pengalaman kerja dan batu loncatan sambil menunggu adanya pendaftaran CPNS.
Tahun 2009 ada informasi pendaftaran CPNS besar-besaran. Saya mencoba untuk mendaftar di Kabupaten Magelang dan puji Tuhan saya bisa lolos CPNS. Saya bersyukur sekali kepada Tuhan. Ternyata Tuhan sungguh baik. Awalnya saya merasa kecewa karena kuliah dengan jurusan yang tidak saya minati, tetapi apa yang menjadi harapan orang tua, semua dijawab oleh Tuhan. Berkat doa-doa bapak dan mama, saya bisa menggapai apa yang saya mimpikan.
Saya juga bersyukur sudah memiliki pengalaman kerja saat saya diterima sebagai CPNS. Saya diterima di salah satu sekolah negeri di Kabupaten Magelang, yaitu di SD Negeri Grabag 1. Saya sudah memiliki pengalaman mengajar kurang lebih 4 tahun untuk bekal mengajar di sekolah yang baru.
Profesiku adalah ‘Guru(ku)’
Oleh: Ika Nurmayati
Lebih dari sekadar jawaban anak TK. Bagi saya, menjadi guru adalah kebutuhan. Terlebih ketika semakin paham bahwa harus ada kebaikan yang kelak akan menjadi amal jariyah. Apa lagi kalau bukan ilmu yang bermanfaat? Bahkan bentuk sedekah saja bisa berupa ilmu. Maka saya merasa yakin dengan apa yang saya pertahankan sebagai sebuah cita-cita. Ditambah semenjak kecil, saya begitu mencintai buku dan senang bercerita.
Namun, dengan berat hati saya harus mengubur mimpi untuk bisa masuk perguruan tinggi yang melahirkan banyak guru karena ternyata saya diterima lebih dulu di salah satu universitas negeri yang menjadi impian banyak orang. Bisa dibilang karena “keberuntungan” yang tidak disengaja, sebab ayah saya meminta agar saya mencoba mengikuti tes masuk universitas tersebut yang diselenggarakan secara mandiri dengan beberapa pilihan jurusan mulai dari D3 hingga S1.
Terapi Okupasi namanya. Sebuah program D3 yang berada di bawah naungan fakultas kedokteran sebelum akhirnya kini berubah menjadi program vokasi kesehatan di universitas tempat saya belajar. Profesi kesehatan ini menangani individu yang mengalami gangguan fisik maupun mental dengan menggunakan aktivitas bermakna dan bertujuan untuk meningkatkan kemandirian individu pada area aktivitas kehidupan sehari-hari, produktivitas serta pemanfaatan waktu luang dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Umumnya kalau berkunjung ke rumah sakit besar, profesi ini berada di Instalasi Rehabilitasi Medik.
Awalnya merasa asing dengan jurusan profesi ini, mungkin bukan hanya saya sendiri. Sedikit pun tidak ada gambaran apa yang akan saya kerjakan nantinya. Selain mencari informasi lewat internet dan bertanya ke beberapa senior, saya pun selalu mengisi waktu libur panjang kuliah dengan magang menjadi asisten terapis di klinik milik salah satu dosen. Sempat ingin mundur saja rasanya, namun biaya yang tidak sedikit saat membayarkan uang pangkal membuat saya tidak tega bila harus mengatakan hal tersebut kepada orang tua. Oleh karena itu, saya tetap bertahan dengan harapan semoga saya bisa mencintai apa yang akan saya jalankan kelak.
Mengajar Is Fun
Oleh: Ria Ratnaning Pratiwi
Setiap manusia pasti memiliki cita-cita. Cita-cita adalah sebuah impian dan harapan seseorang. Cita-cita adalah mimpi, mimpi adalah kunci yang akan menentukan mau jadi apa kita nanti di masa depan. Sering ditanya semasa kecil apa cita-citamu?. Dulu saya bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Mengapa saya ingin menjadi dokter, karena saya ingin menyembuhkan banyak orang. Lantas berubah lagi ingin menjadi polwan sewaktu SMP, dan berubah lagi ingin menjadi guru sewaktu duduk di bangku SMA. Waktu itu saya mulai berpikir setelah lulus SMA saya akan melanjutkan ke perguruan tinggi maka harus tahu jurusan apa yang akan saya pilih nanti. Mengapa saya memilih guru?
Teringat dengan guru Matematika saya sewaktu SMA. Namanya Pak Sukirat. Beliau adalah guru Matematika yang selalu disukai muridnya. Berbeda dengan guru Matematika lainnya yang terkesan galak, serem, beliau adalah guru yang sangat menyenangkan. Sosoknya yang ramah, santun, dekat dengan semua murid-muridnya. Beliau tidak pernah memarahi muridnya. Setiap memberikan pelajaran selalu telaten dan sabar. Sering kali memberikan trik-trik mudah dalam menyelesaikan soal Matematika. Dengan pembawaannya yang santai, humoris, menyenangkan sehingga kehadirannya selalu ditunggu-tunggu oleh muridnya. Beliau adalah salah satu guru favorit saya.
Kisah Sepanjang Jalan Pulang
Oleh: Munjiyah
Sinar matahari sudah mulai meredup. Saya menengok jam di dinding kantor sekolah ternyata sudah pukul 14.30, saya segera mengakhiri kegiatan mencetak administrasi kelas hari ini dan segera berkemas-kemas untuk pulang.
Memiliki profesi sebagai guru, tentu tidak sekadar mengajar di kelas saja, akan tetapi harus melengkapi berbagai administrasi kelas sebagai pedoman dalam mengajar. Saya juga masih terus belajar dalam menjalani profesi saya sebagai guru.
Tahun ini merupakan tahun kedua saya diberi tanggung jawab untuk mengajar di kelas VI. Pertama kali mendapat tugas ini terasa begitu berat, merasa terbebani karena di kelas VI merupakan ujung tombak dalam pendidikan di tingkat dasar. Akan tetapi, dengan dukungan dan motivasi dari berbagai pihak dan teman-teman dekat serta keluarga tentunya, saya menjalani tugas ini dengan maksimal semampu saya.
Setelah berkemas-kemas, saya segera menuju ke parkiran dan langsung mengendarai kendaraan bermotor saya. Dengan rasa letih menyelimuti badan, saya mengendara sepeda motor dengan pelan dan tidak tergesa-gesa. Di perjalanan, saya membayangkan kisah perjalanan hidup saya hingga menjadi seorang guru seperti sekarang ini.
***
Saat itu, saya akan berangkat ke Solo, Bapak mengulurkan sebuah buku kecil. Saat itu saya tidak langsung membukanya karena saya kemudian harus naik di atas motor dan kemudian diantar bapak ke stasiun Kutoarjo.
RKH di Ujung Pena
Oleh: Cipluk Ayinnais
Pagi yang menyibukkan bagiku. Seorang lulusan perikanan yang kesengsem menjadi guru agar bisa meneruskan perjalanan orang tua sebagai yang digugu dan ditiru. Akhirnya aku memutuskan untuk menggeluti pedagogik di Universitas Negeri Jakarta.
Belum genap setahun aku menikah, pembicaraan pun aku mulai dengan suami untuk mulai kuliah di UNJ. Semua atas saran ibuku, dengan pertimbangan menunggu hadirnya buah hati yang belum kunjung tumbuh di rahim. Kuliah saja lagi, Nak, kata ibu waktu itu. Syukur-syukur bisa jadi guru dan pegawai negeri sipil nanti.
Kedua orang tuaku memang sangat ingin anaknya menjadi guru untuk meneruskan jejak beliau. Tak salah memang, semua orang tua pasti memberi saran terbaik demi anaknya. Tak lebih. Suami setuju, berikut pembiayaannya. Alhamdulillah. Kuliah khusus ilmu guru 2 semester pun dimulai. Berangkat pagi bersamaan suami berangkat kerja, kemudian pulang kuliah bersama seorang kawan dari Pulogebang. Menaiki bus sedang jurusan Pulogadung untuk kemudian mencari angkot nomor 31 jurusan Pejuang.
Lulus dari jenjang pendidikan guru, aku mencoba melamar sebagai aparatur sipil negara, namun kesempatan itu tak jua menghampiri hingga aku dilamar untuk mengajar di sebuah pendidikan anak usia dini. Lha kok dilamar? Iya, seorang teman memintaku untuk ikut berpartisipasi dalam merintis sebuah taman kanak-kanak yang ingin memberikan yang terbaik untuk lulusannya nanti. Baiklah, aku akhirnya setuju.
Saat Mengajar Menjadi Bagian dari Kehidupan
Oleh: Ruth Sri Rahayuningsih
Di masa sekolah dahulu, tidak ada cita-cita ataupun bayangan jika akhirnya aku bergumul dengan lingkungan sekolah setiap hari. Di SMA dulu aku lebih tertarik pada penelitian dan eksperimen. Aku selalu senang jika guru biologi atau kimia mengajak ke laboratorium. Mencoba hal-hal yang belum pernah aku ketahui, menjadi hal yang menyenangkan. Hingga akhirnya di masa-masa hampir kelulusan, aku belum tahu ingin mengambil jurusan apa saat kuliah nanti. Karena jika aku ingin mengambil jurusan kimia atau biologi pastilah membutuhkan biaya yang cukup tinggi.
Keluargaku menginginkan aku belajar menjadi seorang guru. Dari kakekku, pak dhe, bu dhe kebanyakan adalah guru sekolah dasar. Aku yang saat itu bingung harus bagaimana, akhirnya mengikuti jejak mereka. Pikirku membuat keluarga bahagia apa salahnya. Misalkan lulus kuliah tidak menjadi guru juga tidak apa-apa. Kemudian aku pun masuk ke jurusan guru sekolah dasar.
Belajar tentang hal yang bukan benar-benar dari hati, ternyata banyak tantangannya. Apalagi di waktu itu kuliah guru apalagi guru sekolah dasar serasa dipandang sebelah mata. Setiap di kampus bertemu teman sekolah pasti ditanya. Ada rasa malu dan minder saat menjawab.
Sepenggal Kisah Perjalanan
Oleh: Prastuti Kartika Sari
Awalnya, aku tidak punya cita-cita jadi seorang guru. Memang, waktu masih kecil saat ditanya apa cita-citaku, aku menjawab ingin menjadi seorang guru. Bagiku wajar, ibuku mengajar di sebuah Taman Kanak-Kanak. Aku bersekolah di tempat ibuku mengajar. Jadi melihat keseharian aktivitas ibuku, aku rasa itu menyenangkan. Terbawa sampai di rumah, menirukan gaya seorang pengajar.
Seiring berjalannya waktu, cita-cita itu memudar. Apalagi ada pengalaman kurang menyenangkan saat aku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di SD. Jujur, di rumah aku tidak pernah mendengar suara keras. Namun di sekolah itu, aku mendengar suara yang asing di telingaku. Meskipun suara itu tidak ditujukan padaku, tetapi membuat badanku bergetar. Aku memutuskan membenci hari Senin.
Di sekolah itu pula, yang membuat percaya diriku merosot drastis. Aku tidak pernah merasa apa yang kupakai, yang kulakukan, yang kuucapkan itu berarti. Jangankan menghargai, melihatku maupun mendengarku pun tidak. Tak ada apresiasi sama sekali. Kecuali dari satu orang, guruku kelas 4, Bu Sari. Alhamdulillah, di SMP kepercayaan diriku pelan-pelan kembali.
Laskar Perdana
Oleh: Yulia Dwi Ernawati
Bu Muslimah di Belitong boleh mempunyai kisah menarik dan inspiratif bersama anak-anak laskar pelanginya. Kisah yang ditulis oleh salah satu anak didiknya di kemudian hari. Ya, kisah itu ditulis oleh Andrea Hirata hingga menjadi novel best seller. Tidak hanya di Indonesia bahkan sampai ke berbagai negara di dunia. Novelnya pun diterjemahkan lebih dari 40 bahasa.
Bu Muslimah adalah salah satu sumber inspirasiku menjadi guru selain ayah. Membaca kisah Bu Mus dalam novel Laskar Pelangi, membuatku bercita-cita menjadi guru sepertinya. Maka jika Bu Mus punya laskar pelangi, aku juga punya laskar perdana dalam sejarah perjalananku menjadi guru.
Mentari menyapa hangat pagi itu. Menjadi saksi perjalananku menuju sekolah tempatku mengabdi pertama kali. Sebuah sekolah yang terletak di lereng Gunung Merapi, Kabupaten Sleman. Tak kuhiraukan silaunya sinar mentari pagi itu. Semangat dalam dadaku menyala dan berkobar menghangatkan hati. Tak kalah hangat dengan sinar mentari pagi itu.
“Selamat pagi, saya Yulia,” perkenalan singkatku pada rekan guru setibanya aku di sekolah.
Jangan bayangkan sekolah tempat mengajarku akan seperti sekolah tempat Bu Mus mengajar. Meski SD Inpres, tapi kondisi kelas di sekolahku memang lebih baik daripada SD Muhammadiyah Gantong. Halamannya luas dan memang masih dibiarkan berupa tanah berdebu. Jika dilewati motor atau sepeda atau digunakan anak-anak untuk bermain sepak bola jelas menerbangkan debu yang mengepul. Kalau musim hujan tiba, ya sama beceknya dengan halaman sekolah SD Muhammadiyah Gantong. Namun, lantai ruang kelas sudah ditutup semen, bahkan untuk ruang guru dan kepala sekolah sudah memakai keramik.
Dunia Mengajarku
Oleh: Maria Prastiwi Eko Ningrum
Mengajar. Kata itu sudah kukenal sejak kecil. Ya, walaupun saat itu aku belum tahu apa dan bagaimana mengajar. Mengajar tidak dapat dilepaskan dari profesi seorang guru. Mengajar merupakan kemampuan dasar yang wajib dimiliki seseorang yang berprofesi sebagai guru. Baik itu guru di sekolah formal, dosen, maupun guru di sekolah nonformal.
Perkenalanku dengan dunia mengajar yang sesungguhnya bermula ketika aku masuk di perguruan tinggi dan mengambil jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas Negeri Yogyakarta. Di tempat itulah pengetahuan dan kemampuan mengajarku diasah. Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, ada empat kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang guru. Kompetensi pedagogik, yakni menjadi seorang guru harus memiliki pemahaman tentang peserta didik, perancangan, dan pelakasanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasi berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi kepribadian, yaitu guru harus mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, berwibawa, berakhlak mulia, dan mampu menjadi teladan bagi peserta didik. Kompetensi sosial, guru mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Perjalanan Mengajar
Oleh: Evi Hanifah
Ketika duduk di bangku Madrasah Aliyah atau setara dengan SMA, aku mendapatkan pembelajaran tentang Pedagogik. Awal dari sinilah aku mengenal dunia mengajar dan aku pun semakin tertarik mempelajari mata pelajaran pedagogik. Terlebih di kelas 3 ada semacam PPL atau pengabdian di masyarakat yang salah satu kegiatannya adalah mengajar. Pada waktu itu, aku kira yang bisa mengajar di sekolah itu adalah orang yang sudah lulus kuliah saja. Ternyata perkiraanku terbantahkan dengan adanya PPL di sekolah yang harus mengajar di salah satu MI atau setingkat SD.
Pertama kali mengajar masih kurang percaya diri dan masih malu-malu. Tapi ada kejadian unik, kala itu ada seorang siswa yang menangis gegara bertengkar dengan temannya, aku hampiri dia. Hatiku terenyuh tak tega melihat anak kecil menangis. Aku pun berusaha meredakan tangisannya dan entah aku peluk dari belakang anak kecil itu atau tidak, aku sudah lupa. Namun hal itu membekas diingatan anak kecil itu, pada saat perpisahan PPL. Anak kecil itu memberiku surat dan boneka kecil yang lucu. Aku pun merasa terharu dengan hal itu.
Mengajar dengan hati dan merangkul anak dengan penuh ketulusan akan membekas pada ingatan anak. Hal ini yang dibutuhkan anak akan kenyamanan dan kasih sayang dalam proses pembelajaran. Ketika anak mendapatkan hal itu maka proses pembelajaran pun akan masuk dengan mudah. Ya, meskipun tiap anak berbeda-beda dalam menangkap pembelajaran tertentu. Tergantung minat yang dikehendaki anak. Kita tidak bisa menyeragamkan kemampuan anak, karena itu akan mematahkan kreativitas anak itu sendiri.
Teman-teman Kecilku
Oleh: Miniarti
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Perkenalkan, namaku Miniarti. Seorang Cik Guk pada sekolah Taman Kanak-kanak di sebuah yayasan yang dikelola oleh ibu-ibu dari persatuan dharma wanita pemerintahan kabupaten tempat aku berdomisili.
Hari ini dengan mengucap, “Bismillahi tawakkaltu alallahi ...” aku berangkat ke sekolah dengan penuh semangat. Sebelumnya mampir dulu mengantar putri bungsuku yang masih kelas 1 Sekolah Dasar ke sekolahnya. Gadis kecilku ini sebenarnya bukan tidak mandiri. Justru aku anggap dia sangat berani untuk anak seusianya. Dia selalu meminta padaku untuk diizinkan berangkat ke sekolah sendiri, karena memang jarak sekolahnya dan rumah kami tidak terlalu jauh, hanya sekitar 300 meter. Namun entah mengapa, aku merasa bersalah jika membiarkannya berjalan sendiri, padahal ada jalan pintas melewati lorong yang hanya bisa dilewati pejalan kaki, dan jarak tempuhnya pun lebih singkat dibanding melewati jalan raya.
Pernah kubiarkan dia berangkat sendiri ke sekolah, karena hari itu si kecilku lebih dahulu selesai berpakaian, dan aku masih harus ke kamar kecil. Dengan riangnya ia memeluk dan menciumku yang sudah sangat kebelet dengan wajah meringis.
“Terima kasih Mama, Icha akan berhati-hati dan lewat di lorong saja,” janji gadis kecilku sambil mengedipkan sebelah matanya dengan kocak.
“Hati-hati, Sayang ... nanti setelah mama siap, mama akan singgah sebentar di sekolah Icha,” ujarku sambil menyambut tangan mungilnya yang menyalami tangan kananku.
Begitulah sehari-hari, walaupun kadang-kadang kuizinkan berjalan sendiri berangkat ke sekolah, namun tetap saja kusempatkan waktuku singgah sebentar untuk memastikan bahwa gadis kecilku telah sampai kesekolah dengan selamat. Aku tidak ingin melewatkan momen berharga ini, masa kecil tak pernah bisa diulang lagi.
Mengajar dan Belajar Bersama Generasi Milenial
Oleh: Fitria Rosa
Pagi ini 17 juli 2018 adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas dan tentu saja di hari pertama ini akan bertemu dengan siswa-siswa baru yang berada di kelas 1 atau kelas X di SMA tempat saya mengajar. Hari ini begitu semangat dan semua menampilkan senyuman terbaiknya saat bertemu satu sama lain ketika bersalaman. Alhamdulillah sepertinya akan menjadi tahun ajaran baru yang menyenangkan pikir saya ketika melihat siswa-siwa baru berbaris rapi di lapangan untuk persiapan upacara pertama di hari pertama sekolah.
Selama 3 hari ke depan adalah masa orientasi siswa baru, saya pun kebagian untuk memberikan materi. Sebelum masuk kelas, saya telah membayangkan akan bertemu dan berinteraksi dengan siswa baru yang begitu antusias mendengarkan materi yang diberikan seperti beberapa tahun sebelumnya. Namun ketika masuk kelas yang terlihat adalah sekumpulan siswa yang duduk berkelompok dan memegang smartphone, ada beberapa kelompok di dalam kelas tersebut. Kalimat salam yang saya lontarkan pun tak terjawab oleh mereka, mungkin tidak kedengaran.
Saya penasaran apa yang sedang mereka lakukan dengan kelompok dan smartphone-nya, diam-diam saya datangi kelompok terdekat dan terlihat seperti sebuah game yang sedang terbuka di smartphone mereka masing-masing, ternyata mereka berkelompok karena sedang bermain game online, subhanallah.
Saya ulangi lagi memberi salam dengan suara keras dan mereka pun menoleh dengan terkejut dan langsung menyimpan smartphone-nya, kemudian duduk di kursi mereka masing-masing. Sambil mereka siap, saya berpikir jika seperti ini saya harus cari cara yang berbeda untuk menyampaikan materi agar mereka memperhatikan apa yang akan saya sampaikan.
Passion-ku tuh di Sini
Oleh: Siti Nur Sidah
Nama saya Siti Nur Sidah, lahir di Jember, 12 April 1984. Status saya sudah berkeluarga, dan alhamdulillah sudah dikaruniani 2 orang anak laki-laki. Pertama bernama Waffi Ezra Wahyaka, biasa dipanggil Waffi, usia 13 tahun yang saat ini kelas 1, menuntut ilmu di Pondok Darussalam Gontor 1 Ponorogo, yang kedua bernama Humam Syafiq, biasa dipanggil Syafiq, usia 7 tahun dan sekarang kelas 1 SD Muhammadiyah 01 Ambulu.
Sekitar 8 tahun yang lalu, tepatnya bulan Februari 2011, berbekal ilmu yang sebelumnya sudah saya dapat dari berbagai seminr dan pelatihan, seperti seminar pendidikan, pelatihan BCM (Belajar, Cerita, Menyanyi), Pelatihan Tartil Alquran yang diadakan oleh Tim Pelaksana Ramadhan Mubarrak Masjid Al Baitul Amin Jember. Ditambah aktivitas saya mengajar TPQ di Masjid Agung Al Falaah daerah saya Tegalsari Ambulu, dan juga dengan status sebagai mahasiswa FKIP Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini Semester 1 Universitas Muhammadiyah Jember, saya mengajukan lamaran mengajar di Yayasan Ukhuwah Islamiyah, tepatnya lembaga KBIT-TKIT Az-Zahroh Ambulu.
Berbagai tes saya jalani sebelum diterima dilembaga itu. Mulai dari tes lisan, tes tulis, tes bacaan Alquran beserta tajwidnya, micro teaching dan praktik. Dilanjutkan masa percobaan selama 6 bulan. Saya sangat bersyukur diberi kesempatan oleh Ibu Hj. Andriati Komala, SE. selaku Kepala Sekolah di KBIT-TKIT Az-Zahroh Ambulu waktu itu, untuk mengembangkan ilmu dari segala keterbatasan yang saya miliki saat itu.
Menumbuhkan Motivasi Hingga Akhir Hayat
Oleh: Marwah Thalib, S.Pd
Sejak kecil menjadi guru adalah impian saya. Setiap ditanya oleh siapa pun apa cita-cita saya, dengan mantap lisan ini berucap, guru. Ada kepuasan tersendiri saat melihat senyuman indah menghiasi bibir orang yang telah saya ajar, meskipun itu untuk hal-hal sederhana sekalipun. Saya ingat betul saat duduk di bangku SMA, adik kelas sekaligus tetangga saya sering datang ke rumah untuk minta diajari. Baik itu matematika, bahasa inggris maupun pelajaran lainnya. Waktu SMP saya bahkan mengumpulkan anak-anak kecil dekat rumah, lalu membuat sekolah-sekolahan lengkap dengan jadwal dan modul pelajaran.
Mengajar memanglah tak semudah dibayangkan. Sebab, di pundak seorang guru ilmu dan akhlak anak didik dipertaruhkan. Beban moril dan materil menghantui guru. Butuh kompetensi untuk menjalankan perannya. Jika tak berhati-hati, guru hanya menambah masalah yang telah tumbuh dalam diri anak didik. Namun, beratnya tanggung jawab menjadi guru, bukan berarti kita lalu memilih menepi. Sebab, bagaimanapun kita telah memilih jalan mulia ini.
Duduklah sebentar, di bagian ini saya ingin mengungkapkan lika-liku pengalaman saya mengajar. Bukan untuk berkeluh kesah semata apalagi menggurui, hanya ingin berbagi. Jika melihat usia tahun ajaran saya, mungkin saya terbilang junior menjadi guru. Saya baru tiga tahun dua bulan tercatat sebagai guru honorer. Hanya saja, mengajar sekaligus di tiga sekolah tingkat satuan pendidikan yang berbeda menurut saya cukup banyak mengajarkan saya pengalaman.
Guru (Bukan) Cita-citaku
Oleh: Arieska Azzahra
Menjadi guru adalah bukan cita-cita saya sejak kecil. Walaupun ibu saya adalah seorang guru, tetapi tidak pernah terlintas sedikit pun di benak saya menjadi seorang pengajar. Bahkan, saat masuk ke perguruan tinggi pun saya memilih jurusan biologi murni. Berbeda dengan adik saya yang mengambil jurusan pendidikan sejarah. Bagiku, menjadi seorang peneliti itu lebih keren dibandingkan dengan seorang guru.
Ternyata, takdir Allah tidak ada seorang pun yang bisa menghindarinya, termasuk saya. Di mana pun saya mencoba melamar pekerjaan yang sesuai dengan ijazah dan bidang ilmu saya tidak pernah diterima. Setelah beberapa bulan menganggur orang tua saya menyarankan untuk mengikuti kuliah lagi selama 2 semester untuk mendapatkan ijazah akta 4. Tentu saja karena bukan dari keinginan sendiri, saya menjalaninya dengan setengah hati.
Hingga suatu saat, setelah berhasil mendapatkan ijazah akta 4 tawaran itu datang. Salah satu komite SMP swasta di dekat rumah datang menawarkan salah satu posisi di sekolah tersebut. Awalnya, saya menolak tawaran itu dan meminta adik saya untuk mengisi posisi tersebut. Akan tetapi, dengan beberapa pertimbangan dan masukan dari orang tua akhirnya saya menerimanya.
Jalan Cinta Penghapus Aksara (Huruf Hijaiyah)
Oleh: Asma Ridha
Dikutip dari Abu Hanifah Rahimakumullah :
“Siapa yang menuntut ilmu untuk negeri akhirat, ia akan memperoleh keutamaan dari ar-Rasyad (Allah). Duhai, betapa meruginya orang-orang yang mencari ilmu karena ingin mendapat pujian dari manusia.”
Menuntut ilmu dalam khazanah Islam selalu hal spesial yang sangat unik jalan cinta Allah pada hamba-Nya. Maka wajar ada syair yang sangat mendalam patut untuk direnungi bersama sebagai seorang pendidik yang akan memberi ilmunya pada ribuan anak manusia.
“Hidupnya hati adalah dengan ilmu maka carilah, dan matinya hati dengan kebodohan maka jauhilah.”
Menjadi pendidik bukanlah sebuah proses pembelajaran yang telah usai. Justru menjadi kewajiban untuk terus meningkatkan kualitas diri agar layak menjadi guru yang layak ditakzimi dan dihormati, senantiasa mencari dan memberi ilmu agar hati anak negeri tidaklah mati. Termasuk salah satunya peduli akan mereka yang buta huruf hijaiyah. Sebagai pendidik muslim apapun levelnya, guru umumkah atau memang bidangnya agama, jangan pernah menutup mata dan telinga terhadap generasi yang acuh dan abai dari pedoman sejati umat muslim yakni Alquranul Karim.
Menemukan Diri
Oleh: Maya Kusumastuti
Kalau ditanya kenapa saya memilih menjadi seorang guru, lima tahun yang lalu mungkin saya akan menjawab, “Ya karena saya kuliahnya PGSD (Pendidikan Guru SD), habis lulus tentu jadi guru dong, masa iya mau jadi arsitek.”
Begitulah, karena keinginan saya dulu memang bukan menjadi seorang guru, apalagi seorang guru SD, jauh dari bayangan.
Kembali ke sebelas tahun yang lalu. Saat itu saya baru saja menyelesaikan jenjang SMA. Senang rasanya akhirnya bisa lulus SMA dengan nilai yang cukup memuaskan bagi saya. Tetapi setelah itu tantangan yang sebenarnya barulah muncul. Mau kuliah di mana ya saya? Jurusan apa yang harus saya ambil? Apakah jurusan yang saya ambil kelak bisa menjamin hidup saya? Seberapa besar biaya yang harus saya keluarkan untuk kuliah?
Banyak sekali pertimbangan saya ketika memutuskan untuk melanjutkan studi saya. Saat itu sejujurnya jurusan PGSD tidak ada sama sekali dalam bayangan saya. Bahkan saya juga tidak tahu kalau ada jurusan PGSD. Minat saya ada di jurusan lain. Tetapi apa mau dikata, beberapa kali mengikuti tes masuk perguruan tinggi dengan tujuan jurusan yang dinginkan ternyata tidak membuahkan hasil. Nyaris putus asa rasanya. Sampai ada keinginan untuk menunda kuliah dulu jika tidak diterima di mana pun.
Akhirnya ada satu kesempatan tes masuk perguruan tinggi lagi yang bisa saya ikuti. Di situlah saya memilih mengambil jurusan PGSD. Salah satu teman kebetulan sudah diterima di jurusan ini. Nah, dari situlah saya baru tau tentang adanya jurusan PGSD. Saya putuskan untuk mencoba melepaskan keinginan untuk masuk ke jurusan yang saya inginkan dan mengambil jurusan lain yang mungkin akan cocok untuk saya. Kenapa saya bilang mungkin, karena memang terbersit dalam pikiran apa iya saya bisa jadi guru SD?
Telanjur di SMK
Oleh: Diana Nababan
“Mengapa pindah ke sini?”
“Tak bisalah nanti kau berkembang di sini.”
“Matilah nanti ilmu di sini”
Begitulah komentar teman-teman saat saya mutasi ke SMK sembilan tahun yang lalu. Teman-teman yang tahu kalau saya itu tak mau berhenti belajar. Selalu menjadi guru pembimbing siswa mengikuti lomba. Menjadi penggagas atau panitia inti sebuah event bahkan terakhir menerbitkan buku solo yang pertama tahun 2008 yang lalu.
“Apa yang salah dengan SMK?” pikir saya. “Toh, saya dulunya juga adalah anak SMK,” batin saya lagi. Bukankah SMK dulu dan sekarang masih tetap sama mempersiapkan peserta didik agar menjadi manusia produktif, mampu bekerja mandiri, mengisi lowongan pekerjaan yang ada sebagai tenaga kerja tingkat menengah sesuai dengan kompetensi dalam program keahlian yang dipilihnya.
Pembelajaran SMK masih terdiri atas tiga kelompok yaitu mapel normatif, adaptif dan produktif. Mapel Normatif (Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Penjas, Olahraga dan Kesehatan, Seni Budaya) adalah mata pelajaran yang berfungsi membentuk peserta didik menjadi pribadi yang utuh, pribadi yang memiliki norma-norma kehidupan sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial (anggota masyarakat), sebagai warga negara Indonesia maupun sebagai warga negara dunia.
Guru Bonus
Oleh: Elvina Rosa
Sedikit ingin menggoreskan pena tentang masa lalu dan masa sekarang. Saya dilahirkan di Pekanbaru 02 September 1986 adalah anak dari pasangan yang paling bahagia Drs. Mukhtar dan Timaini dengan nama lengkap Elvina Roza, anak ke 3 dari 3 bersaudara.
Saya menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 001 Kuantan Hilir pada tahun 1998, kemudian melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah pertama di SLTP Negeri 1 Kuantan Hilir dan selesai tahun 2001. Pada tahun 2001 saya melanjutkan pendidikan ke tingkat menengah atas di SMAN 3 Padang dan selesai pada tahun 2004.
Pada tahun 2004, melalui jalur SPMB saya diterima di Program Studi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Riau. Pada tanggal 5 Juli 2007 peneliti melaksanakan KUKERTA di Desa Pulau Kulur, Kecamatan Kuantan Hilir Kabupaten Kuantan Singingi selama 2 bulan, kemudian dilanjutkan dengan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP Negeri 4 Siak Hulu Kabupaten Kampar.
Pada tanggal 21 Januari 2008 saya menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau. Saya pun melanjutkan S2 di Program Studi Biofisika Institut Pertanian Bogor, hingga tibalah pada suatu hari tepat nya pada tahun 2009, hari itu saya memutuskan untuk tidak lagi meneruskan pendidikan S2 yang sudah saya jalani lebih kurang 1 tahun.
Guru Menulis
Terkadang melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan hati nurani itu tidak menyenangkan. Namun ada pepatah Jawa “Tresno iku jalaran soko kulino” yang artinya cinta muncul itu karena terbiasa. Pekerjaan yang ditekuni, lama-lama akan menjadi pekerjaan yang menyenangkan.
Melalui buku ini kami sampaikan perjalanan setiap insan dalam menjalani profesinya mengajar. Ada yang bermula dari keterpaksaan hingga menjadi profesi yang menyenangkan dan membanggakan.
Kisah inspiratif setiap guru dalam bekerja untuk membangun generasi yang unggul dan berprestasi. Melalui buku ini juga dapat menambah literasi untuk negeri. Semakin banyak karya guru yang mewarnai literasi negeri.