-->
Menu
/

www.MomsInstitute.com - Pernahkah kita membayangkan guru kehidupan terbaik dalam perjalanan hidup kita? Mereka, mungkin bukan orang-orang yang memiliki jabatan tinggi di perusahaan. Bahkan boleh jadi, diantara mereka, ada yang berprofesi sebagai loper koran atau pedagang bakso, tapi punya semangat yang luar biasa dalam menghadapi tantangan hidup. 


Mengarifi Kesulitan: Sebuah Pengantar
Sakti Wibowo


“Berbahagialah karena Anda mengalami hidup yang sulit,” komentar saya beberapa hari lalu saat seorang kawan mengeluhkan kerumitan hidupnya. “Bayangkan orang-orang yang tak pernah mengalami kesulitan sepanjang hidupnya, apa yang akan mereka ceritakan pada anak-anaknya kelak?” lanjut saya.
Sedikit membual, saya katakan bahwa hidup tak ubahnya perjalanan mendaki gunung; indahnya baru terasa saat diceritakan. Saat menjalaninya, jangankan keindahan, yang ada adalah rasa lelah, jenuh, dan ingin perjalanan cepat berakhir. 

Kawan, kita sering dihadapkan pada kondisi yang tidak menyenangkan, sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, tekanan, dan tuntutan yang bertubi-tubi sehingga nyaris kaki kita goyah, tergoda untuk berhenti atau berlari pergi. Namun, sesungguhnya tak ada cara menghindari kesulitan kecuali dengan menghadapinya. 


BELIEVE 1:Tantangan Ini, Menguatkan Cinta Kami ...


Rumah Perjuangan
Aprilina Prastari


Sebagai pasangan yang menikah muda dan berusaha mandiri, tak mau membebani orangtua, perjuangan cukup berat yang harus kami lalui selama dua belas tahun menikah adalah mewujudkan mimpi membangun rumah sendiri. 
Dari sebuah majalah Islam, kami mendapat informasi adanya sebuah cluster berisi dua belas rumah yang dijual. Harganya, dibandingkan perumahan lain, jauh lebih murah. Mungkin karena lokasinya bukan di daerah elit. Pengembangnya pun belum memiliki pengalaman membangun perumahan. Entah kenapa, kami tertarik membelinya. Yang ada di pikiran kami saat itu, bagaimana memiliki rumah secara tunai dengan tabungan yang tidak terlalu banyak. 

Setelah membayar uang muka, rumah itu pun dibangun. Kami akui selama pembangunannya, kami tidak terlalu banyak memantau. Suami yang sibuk bekerja, saya yang repot mengurus bayi pertama, dan jarak yang jauh dari rumah orang tua membuat kami lalai mengeceknya. Hingga lima puluh persen pengerjaannya, jujur, kami kecewa dengan kualitasnya. Ditambah lagi, janji pengembang untuk membuka jalan sehingga bisa dilalui mobil belum juga terlaksana. Tapi, mau bagaimana lagi. Kami sudah melunasi enam puluh persen dari total biaya rumah.   

“Paling enggak bisa buat investasi, Bun,” kata suami melihat kekecewaan saya. Kami pun sepakat untuk menjadikannya rumah kontrakan setelah rampung pengerjaannya. 
Di tahun kedua pernikahan kami, ada suatu kondisi yang mengharuskan kami pindah dari rumah orang tua. Dengan berbagai pertimbangan, kami pindah ke rumah orang tua suami. 


Bekerja dari Rumah, Enggak Masalah
Miyosi Ariefiansyah


“Kerja di mana, nih?”
“Rumah,”
“Oh, nganggur,”

“Gawe di mana sekarang?”
“Di rumah nih nulis,”
“Oh, enggak coba pengin kerja kantoran?”

Saya yakin, kalau pertanyaan itu didengar oleh generasi Z mungkin mereka enggak percaya. Ya hari gini, siapa sih yang enggak tahu kalau di rumah aja bisa menghasilkan. Ada sih yang enggak tahu, biasanya generasi jadul yang kurang update info. Deuh, maaf, enggak bermaksud nyinyir, hehe. 

Sebenarnya, saya sendiri bukanlah generasi laamaa. Bisa dibilang, generasi “kemarin sore”, generasi Y, yang notabene sudah familiar dengan teknologi. Tapi kenyataannya, sepuluh atau belasan tahun yang lalu, jalan hidup yang saya ambil ini boleh dibilang antimainstream alias enggak lumrah. Enggak terkecuali, oleh yang segenerasi. Memprihatinkan, ya. Banget. 

Ibu saya pun enggak tahu harus menjelaskan seperti apa ke tetangga ketika mereka bertanya anaknya kerja apa, di mana, dan bagian apa. Kalau dibilang profesinya penulis, kenyataannya di zaman itu masih banyak yang belum ngeh. Dan, kalau dijawab “di rumah aja”, komen lanjutan pun hadir, “Masa lulusan cumlaude cuma jadi ibu rumah tangga?”

Kalau kalian yang dibegitukan reaksinya gimana? Marah? Sedih? Menangis? Saya dulu… GERAM sembari take a deep breath. Di sisi lain, saya justru semakin ingin membuktikan ke mereka bahwa meski cuma di rumah tapi bisa juga kok bekerja selayaknya di kantor. Yang membedakan hanya masalah tempat saja. 


Tua itu Pasti, Dewasa itu Pilihan
Fadhlin Nur Ramdhan


Terlihat agak aneh memang, bila anak usia belasan, laki-laki, tinggal di kota besar, memiliki keinginan untuk menikah muda. Biasanya, anak muda seusiaku lebih suka bersenang-senang daripada memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Tak heran, bila kemudian keinginanku ini menjadi buah bibir tetangga dan lingkungan.

Ayah, adalah orang yang paling menentang keinginanku pada saat itu. Pekerjaan belum mapan, kuliah barus semester 3, dan segala macam alasan serupa beliau lontarkan. Menikah itu tidak mudah, butuh pemikiran yang matang, dan tidak asal. Begitulah kata beliau waktu itu. Ya, aku membenarkannya. Menikah memang tidak mudah, namun bukan berarti susah dan untuk dihindari. Aku pun juga memiliki alasan yang kuat kenapa harus menyegerakan menikah. Bagiku menikah itu bukan masalah mapan atau tidak namun siap untuk bertanggung jawab.

Desember tepatnya, aku memberanikan diri untuk memenuhi undangan dari ayah calon wanita yang ingin aku nikahkan. Walaupun pada saat itu aku masih khawatir karena belum mendapat restu dari ayah namun aku sudah mendapat izian dari ibu.

Alhamdulillah, kedatanganku disambut oleh pihak keluarga wanita. Tanpa basa basi beliau menerima lamaranku dan beliau sendiri yang menentukan tanggal akad dan walimahnya. Aku pun sedikit kaget campur senang, tapi masih berpikir bagaimana caranya bicara dengan ayah tentang proses yang sudah sejauh ini.
***


Resign
Suci Rachmawati Yusuf


    “Bu, kemungkinan aku akan mengajukan resign.” Aku terpaksa jujur mengatakan hal ini pada Ibu. Sudah sangat buntu pikiranku. Semakin dipendam sendiri, aku merasa semakin tercekik.

“Hush,…ngawur! Ngomong apa sih, kamu?”
“Kemarin kan udah aku jelaskan semua ceritanya, mana mungkin aku bisa....”kataku tersendat.
“Alaaah, sudah…sudah. Mending kamu sekarang siap-siap berangkat. Keburu kesiangan nanti.” 
Ibu memutuskan pembicaraan kami. Nampaknya ibu memang tidak pernah suka jika aku membahas hal ini.

Akhirnya aku putuskan untuk mengalah. Berangkat kerja meski dengan setengah hati. Beberapa hari ini pikiranku amburadul. Setiap kali tiba di ruang kerjaku, hati terasa seperti dikuliti hidup-hidup. Perih! Suasana kerja tidak lagi senyaman dulu. Tidak ada masalah dengan rekan kerja atau para atasanku. Aku hanya tidak bisa ‘berdamai’ seperti rekan kerjaku yang lain. 

Aku bekerja sebagai seorang planner, bersama karyawan yang lain, tugas kami memang sangat inti. Mulai dari penyediaan bahan baku sampai proses produksi berjalan lancar. Perusahaanku jauh dari apa yang aku bayangkan dulu. Malah aku menyebutnya ini pabrik. Jauh dari fasilitas lengkap nan mewah seperti biasa aku lihat di perusahaan Jepang atau perusahaan lainnya. Aku menerima bekerja di sini, karena inilah kesempatan pertama untuk bekerja dan mendapat pengalaman. Jadi, walaupun kecil gaji yang kuterima dan fasilitas seadanya, aku tetap berusaha bekerja dengan sebaik mungkin.


Kenapa Tidak?
Wahyu Rahmawati


      “Face me when you talk,” tulisnya dalam sebuah foto yang diunggah  beberapa waktu lalu di jejaring sosial. Membacanya mengingatkan saya pada pertemuan kami pertama kali di awal tahun 2006 saat dia masih berseragam putih merah. Statusnya masih calon adik dan saya masih calon mbak, hingga beberapa bulan setelah hari itu saya resmi menikah dengan kakak sulungnya. Sebuah buku kecil dia sodorkan sambil tersenyum saat kami membuka perkenalan. C-A-N-D-R-A. Dia tulis namanya dengan tergesa setelah beberapa jeda sebelumnya saya masih belum dapat menangkap dengan baik apa yang dia sampaikan. 

      Tubuhnya tinggi kurus, wajahnya putih, dengan rambut jabrik yang terpotong rapi. Kepala dan kakinya aktif bergerak, tidak tenang, khas kanak-kanak. Matanya bak detektif yang melumat setiap apa yang terlihat. Pertanyaan-pertanyaannya tidak terduga, seperti wartawan pencari berita. Antusias dan cerdas. Itu kesan pertama saya. Hari itu kami berinteraksi seperti kawan lama. Sepanjang obrolan dia menatap saya, memperhatikan gerak bibir yang berbicara. Sesekali secarik kertas menjembatani kami. 
***
     
“Saya mau sekolah umum.” Sebuah pesan singkat saya terima di penghujung Mei 2010, hampir dua bulan menjelang kelulusannya. Candra butuh pertimbangan? Penguatan? Atau, ini sudah menjadi keputusan? Pelan-pelan saya kumpulkan keping-keping cerita dalam ingatan.

      Candra anak terakhir dari tiga bersaudara. Lahir normal di tengah keluarga besar yang bahagia. Pertumbuhan fisik dan motoriknya bagus, hingga pada tahun kedua ayah ibunya menyadari bahwa ada yang lain dengan si bungsu. Dia tidak dapat merespon suara. Beragam pengobatan telah dilakukan untuk kesembuhannya baik secara medis maupun alternatif. Sudah beberapa dokter dikunjungi untuk meminta second opinion dan segala macam alat bantu pendengaran yang direkomendasikan telah dicoba, tetapi hasilnya nihil. Candra tetap tidak dapat mendengar, bahkan dengan alat bantu dengar sekalipun.


Anak (Tak) Sempurna
Yuni Susilowati


Menjadi apapun anak kita nanti, mereka tetaplah anak kita. Dan, yang paling penting dari semua hal yang dapat kita berikan kepada mereka adalah cinta tanpa syarat. Bukan cinta yang bergantung pada sesuatu. 

(Rosaleen Dickson)
Sebagai perempuan yang dipercaya Allah untuk melahirkan ketiga kalinya, saya benar-benar bahagia. Terlebih, Denis lahir dalam keadaan normal dan sehat. Perkembangannya pun sesuai target yang tertera di Kartu Menuju Sehat (KMS) terbitan Posyandu. Bahkan, badannya jauh lebih montok dan menggemaskan dibanding kedua kakaknya. Begitulah kondisi Denis, sebelum demam tinggi mengubah segalanya.

Saat itu, usianya sekitar sebelas bulan. Entah kenapa, tiba-tiba Denis demam tinggi. Saya segera membawanya ke rumah sakit, khawatir terjadi sesuatu yang membahayakan bagi Denis. Meski tak mengatakan apa penyakitnya, namun dokter meminta Denis untuk dirawat. 

Di rumah sakit, Denis mendapat sekitar sembilan suntikan dalam sehari. Selama dua minggu dirawat, selama itu pula ia mendapat suntikan. Tadinya saya mengira itu hanyalah suntikan biasa, hingga dokter memanggil saya dan suami. Dokter memaksa kami memilih satu di antara dua pilihan yang pahit. Rupanya, obat dalam suntikan terlalu keras dan berimbas kepada perkembangan Denis. Denis akan lumpuh atau perkembangan otaknya terganggu! 


Hanyalah Titipan
Amanda Ratih Pratiwi


Terkadang manusia terlalu muluk mengharapkan surga tetapi baru diuji sedikit saja keluhannya sudah sampai Afrika. Termasuk aku salah satunya. Aku tidak pernah menduga ini adalah ujian, lebih tepatnya tidak sadar karena sudah terlalu banyak celotehan-celotehan kanan-kiri yang menanyakan perihal kehamilanku.

Seminggu setelah menikah aku menyusul suamiku pergi ke Ambon. Kami memulai hidup baru, alias memulai petualangan baru. Bagiku hidup merantau sudah biasa yang belum biasa saat itu aku sedang bersama lelaki asing yang tiba-tiba menjelma wujud menjadi pangeran yang membawaku untuk hidup bersama.

Suami adalah titipan pertama dalam hidupku, aku diuji apakah aku bisa menjadi istri yang sabar, pengertian, bisa menjaga hartanya, menyenangkan pandangannya dan banyak hal lainnya yang harus aku laksanakan sesuai nasihat Rasulullah. Ternyata tidak gampang menjadi istri yang baik itu, di sana-sini harus banyak tambal sulam membenahi kekurangan dan membiasakan kebaikan-kebaikan itu.


BELIEVE 2
Kehilangan seseorang yang sangat berarti. Mungkinkah aku sanggup?



Keluarga “Baru”
Ianutama


Pukul 05.05 WIB, sebuah panggilan telepon masuk. 
Dari rumah! 
Sepagi ini? 
Ada apa? 
Baru semalam kami saling berbalas pesan, kenapa sekarang seperti ini. Saya bergegas pergi menuju sebuah rumah sakit pemerintah. Ah, kenapa rumah sakit? Kenapa bukan puskesmas terdekat? Separah itukah sakit bapak? Bukankah kemarin kami masih mengobrol tentang bola. Bukankah kemarin beliau masih segar bugar. Saya tak bisa berpikir jernih. Kejadian ini terlalu tiba- tiba.

UGD. SMS adik saya selanjutnya. Kepanikan saya pun bertambah. Bagaimana mungkin orang yang sebelumnya masih segar bugar, tiba- tiba harus “mendekam” di UGD. Kenapa? Ada apa? Segala macam kata tanya berputar-putar dalam otak, namun saya tak pernah tahu jawabannya. Lagi- lagi, ini terlalu mendadak.

Saya masih tak percaya saat memasuki ruang UGD. Pun saat bapak harus dipindah ke salah satu rumah sakit swasta karena ketidaklengkapan alat di rumah sakit sebelumnya. Apalagi saat saya harus “berhadapan” dengan vonis dokter. Bapak mengalami pendarahan di bagian tengah otak dan tidak mungkin dioperasi. Bahkan, untuk sadar saja tidak bisa diprediksi. 

3 Februari 2011, pukul 02.00 WIB, bapak menghembuskan nafas terakhir. Sehat, jatuh tiba-tiba, dan meninggal. Allahu Akbar. Skenario ini adalah pukulan telak untuk keluarga kami.

Ah, benar. Ajal takada hubungannya dengan usia. Kita takdapat mengetahui kapan itu terjadi. Bahkan, untuk mengundurnya pun, kita tak memiliki kuasa meski sedetik. Semua memang Allah mengatur. Kematian bapak secara tiba-tiba semakin menyadarkanku bahwa takkan pernah tahu apa yang akan terjadi di waktu berikutnya.

***



Bukankah Jodoh Memang Dekat?
Resty Afika


Semua orang pasti tahu bahwa jodoh adalah perkara yang pasti tapi amat rahasia. Namun bagaimana jodoh itu datang adalah yang kadang mengejutkan. Kita berharap jodoh datang dengan cara yang baik tapi yang terjadi adalah sebaliknya.
Aku fokus mengawali pencarian cintaku sejak lulus sekolah tingkat menengah atas. Tentu saja aku sempat terprovokasi dengan seruan nikah muda. Dimana banyak orang yang telah menikah menceritakan semua hal indah tentang pernikahan. Sayangnya tidak ada yang memberitahu bahwa mencari jodoh itu tidak semudah yang diceritakan.

Semua hal yang orang bilang akan mempermudah untuk mendapatkan jodoh tentu aku lakukan karena pernikahan adalah ibadah terpanjang dan sangat sulit untuk dibayangkan bagaimana prosesi ibadahnya. Maka tentu saja aku tidak mau sembarangan untuk menuju ke jenjang pernikahan perlu pengetahuan yang cukup. Salah satunya adalah cara memilih pasangan yang diridai oleh Allah. Jangan sampai pernikahan yang seharusnya mempermudah untuk menuju surga malah menjadikan lebih dekat dengan neraka. Karena menikah itu menyempurnakan separuh agama, jangan sampai mengabaikan separuh lainnya.

Hatiku pernah patah sebelumnya tentu tidak mudah menerima pinangan dari sembarang laki-laki. Saat itu, aku kehilangan orang yang aku cintai dengan sangat mengejutkan. Ia meninggal tiba-tiba. Tentu saja aku punya standar sendiri bagaimana aku mencari calon pasangan yang akan menemaniku sepanjang hidup. Entah hidupku atau hidupnya.

Sebuah Pertemuan
Shine Fikri


“Our biggest dream!”
Katamu berulang kali menyatakan dengan senyum berbinar. Dan setiap itu pula aku terhempas mendengarnya, ada perasaan bergetar lalu melesat, melangit.

Aku masih ingat betul ketika kita dipertemukan di sebuah uji mental acara pramuka di SMP kita. Aku yang ketika itu, menganggapmu sebagai kawan terlucu yang pernah kutemui, tak pernah berpikir bahwa ada episode panjang setelah pertemuan itu. Kau selalu memberikan keceriaan dan kedamaian, selalu ada magnet dari setiap pembicaraan yang kau ajukan padaku. 

Hingga, 
“Ai, ada surat ni dari Rangga.” Ees teman sekelasmu memberikan surat darimu ketika di pengajian.
Seperti tersengat gerombolan lebah rasanya, bedanya lebah itu menyengatku dengan madunya yang menimbulkan efek buncah.

Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Baru kali ini rasanya dapat surat puitis dari seorang pria. Setelah aku membaca suratmu, entah mengapa pipiku jadi memerah, ingin senyum terus menerus dan kata-katamu seolah menggema di telingaku, romantis!

Siapa orangnya yang tak terpesona pada pria sepertimu. Cerdas, aktif dan famous di sekolah. Aku sungguh perempuan paling beruntung bisa berteman dekat denganmu. Tanggal 28 Oktober 2003 kau nyatakan bahwa di dalam hatimu ada ruang khusus untukku.


BELIEVE 3
Jika hidup ini adalah milik Allah,mengapa harus marah dengan sakit yang Dia titipkan?



Pertolongan Allah itu Dekat
Yuni Susilowati


Sudah dua minggu Bapak batuk terus-menerus. Demam juga masih ada. Ditambah lagi, tubuhnya semakin lemah. Sebenarnya Bapak sakit apa?

 “Cuma batuk biasa, sebentar lagi juga sembuh,” jawaban Bapak selalu sama setiap kali saya bujuk untuk berobat.
“Iya, tapi ini sudah dua minggu lho Pak.”
“Nggak apa-apa. Kamu nggak usah khawatir.”
 Beberapa hari kemudian, saya baru berhasil membawa Bapak ke klinik. 
Dokter di klinik bilang Bapak terkena Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan menyarankan rontgen ke rumah sakit untuk pemerikasaan lebih lanjut. Bagi Bapak yang perokok berat, penyakit pernafasan mudah sekali mengintai. Hasil rontgen dan  tes dahak menyatakan Bapak positif terserang Tubercolosis (TB) Paru. Menurut informasi yang saya terima, sekitar 25 % dari seluruh kematian di dunia disebabkan oleh penyakit TB.

Ya Allah, apa lagi ini? Setahun lalu Engkau ambil  Ibu. Apa aku harus menjadi yatim piatu sekarang?

Selain bayangan kehilangan orang tua, yang membuat hati bertambah risau, harga obat TB cukup mahal. Sementara penghasilan saya sebagai pengajar les tidaklah seberapa.

Cinta Terakhir untuk Andreira
Sulistyawati Subianto


Kehidupan Andreira memang tak secantik namanya. Di usia sembilan tahun, ia harus menjadi piatu. Mamanya, Dea, meninggal dunia karena kanker payudara setelah empat tahun bertahan hidup dalam kondisi memprihatinkan. Bukan hanya sakit yang ia dapat tetapi juga kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suaminya.
Saat mamanya masih hidup, papanya selalu menghabiskan waktu hanya untuk mengurusi pekerjaan. Jangankan memerhatikan mamanya yang sakit, saat di rumahpun, papanya hanya memikirkan pekerjaan. Untunglah, mamanya seorang wanita yang sabar. Ia tetap berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaan agar tidak merasakan bosan dan kesepian. Namun hal tersebut justru sering mengundang kemarahan papanya. Tak jarang Ira-panggilan Andreira- melihat mamanya ditampar dan dimaki. Andai saat itu ia bukan anak kecil, ingin rasanya berontak melihat mamanya diperlakukan seperti itu. 

Dan kini, mamanya telah pergi untuk selamanya. Kepergian mamanya membuat Ira terpukul. Selama ini, hanya mamanya yang begitu dekat dan menyayanginya. Ira kehilangan sosok seorang mama yang baik dan penyayang. Bayang-bayang mamanya selalu dalam kenangan dan tak mau pergi. Ingin rasanya memiliki teman untuk bicara. Tapi dengan siapa? Ia tidak memiliki kakak dan juga adik. Ira merana seorang diri. 

Saat Ira remaja, cara mendidik papanya masih saja otoriter. Ira merasa papanya tidak menyayanginya. Ira ingin seperti teman-temannya; berkumpul dengan keluarga, berjalan bersama penuh canda tawa. Ia juga ingin menikmati masa remajanya; mempunyai waktu untuk bergaul, berkesempatan mengenal lingkungan, menikmati indahnya mencintai dan dicintai, dan segudang angan-angan yang belum pernah dialami. Kadang, saat rasa jenuh itu muncul, ia membenci kehidupan dan dirinya sendiri. Tak jarang ia menyalahkan Tuhan karena tak adil pada dirinya. 

Kuhapus Jejak Dendam
Yunita Adawiah


Aku sadar, ada yang tidak beres dengan tubuhku. Beberapa minggu terakhir, aku sering merasakan sesak napas. Meski aku bukan pengidap penyakit asma tetapi dadaku seolah tak bersahabat ketika aku bernapas. Aku menceritakan hal ini kepada seorang teman dekatku. Ia lalu menyarankan untuk melakukan foto thorax.

“Siapa tahu paru-parumu sakit,” katanya dengan nada cemas. 
“Masa sih paru-paru? Aku cuma sesak napas, enggak pakai batuk,” kilahku saat itu. Dengan alasan itu pula aku belum mau menuruti sarannya.
Gejala ini sebenarnya tidak terlalu sering. Hanya saat-saat tertentu saja. Dari sana, aku mengambil kesimpulan sendiri, mungkin karena kondisi tubuhku sedang tidak dalam kondisi prima. Namun belakangan, bukan cuma sesak pada dada yang kurasakan. Satu titik di dada kiriku mulai terasa nyeri meskipun hanya terjadi sesekali waktu. Yang membuatku semakin was-was, di titik di mana aku merasakan nyeri itu, mulai membentuk sebuah benjolan. Kecil sih, tapi karena posisinya ada di sekitar dada tepatnya payudara, aku pun tak bisa menganggapnya biasa. Aku takut, bercampur penasaran.

Perihal benjolan ini pernah kuceritakan dengan seorang teman, sebut saja namanya Indah. Sebelumnya Indah pernah bercerita kalau ia memiliki kelenjar getah bening di lehernya. Ah, mungkin saja yang aku alami tidak jauh berbeda. Semoga saja.

Selanjutnya, setiap akan dan bangun tidur, sesak napas tak luput kurasakan. Gejalanya semakin rutin. Pun nyeri pada benjolannya. Ketakutanku meningkat. Akhirnya aku memberanikan diri untuk memeriksakan kondisi tubuhku ke dokter. Sebenarnya, bukan sok berani atau apapun. Dalam benakku saat itu, jika memang ini membahayakan, maka akan lebih baik jika bisa dideteksi sejak dini, dan mungkin proses penyembuhannya akan lebih mudah.
***


BELIEVE 4Pendidikan bukan hanya milik mereka yang kaya.Pendidikan milik kita. Milik semua!



Tak Ada Uang, Kambing Pun Jadi
Nadiah Abidin 


Aku masih ingat hari itu. 
Kala itu pertengahan tahun 2003. Aku duduk di teras rumah ditemani kicau burung di pepohonan. Bapak dan ibu kelihatan sibuk mempersiapkan cangkul dan parang. Tampak jelas gurat-gurat keletihan di wajah mereka. 

Rasa sedih menghinggapi hatiku. Tak seharusnya mereka bekerja lagi. Di usia yang berangsur senja, mereka patut menikmati hidup tanpa kerisauan. Tapi, kondisi ekonomi kami belum memungkinkan. Keluarga kami bukanlah keluarga kaya yang dapat pensiun kapanpun kami menginginkannya. 

Akarnya terletak pada pendidikan kami. Bapak tak pernah merampungkan sekolah rakyat, sementara ibu hanya sempat sekolah beberapa hari. Ini termasuk seluruh kakakku. Mereka tamatan SD, kecuali kakak sebelum aku yang menuntaskan pendidikan di bangku MTS. 

Khayalku mulai mengawang jauh. 
Andai pendidikanku lebih tinggi, batinku, aku mungkin bisa memperbaiki kehidupan keluarga. Bagiku, pendidikan adalah pintu beragam peluang. Peluang kunci mencapai perubahan. 

Maka, dua minggu yang lalu, aku diam-diam mengikuti ujian masuk SMAN 1 Cibadak. SMAN 1 Cibadak adalah sekolah favorit di daerah kami. Jujur, aku tidak berharap banyak. Dalam doa, aku sebatas memohon kepada Allah agar dapat lulus untuk membanggakan orangtua. 
Dan hari itu akhirnya tiba. Hari pengumuman hasil ujian. Aku menunggu bapak dan ibu menghilang di tikungan sebelum bergegas mengganti baju dan melesat ke sekolah buat melihat pengumuman.  

Sepanjang perjalanan mulutku merapalkan doa. Rutenya becek dan berliku. Aku berjalan, melintasi tanjakan dan turunan, terkadang harus melompati genangan. 
Beginilah hidup di pedalaman. Tak mudah mencapai peradaban. Satu jam waktu paling minimal yang aku butuhkan untuk mendapatkan angkutan.

Dan di sinilah kini aku berdiri. Di depan gerbang SMAN 1 Cibadak.
Ratusan orang tampak berseliweran. Sepintas aku ragu, tapi kulanjutkan jua langkah kakiku menuju ke dalam pelataran sekolah. 

Yang Hilang
Marwi Yati


Kehilangan seorang ayah dalam usia remaja takpernah aku bayangkan bahkan terpikirkan. Ada Ayah saja kami sekeluarga masih serba kekurangan apalagi tidak ada Ayah. “Hadoooh” pikiranku sedikit melayang. “Hus” itu namanya tidak ikhlas akan takdir yang Allah berikan. Belum lagi cibiran orang mengenai diriku yang melanjutkan sekolah ke Madrasah Aliyah Negeri yang katanya sekolah di Aliyah itu susah cari pekerjaan. Menurut mereka, sekolah yang mampu menjamin masa depan itu Sekolah Menengah Kejuruan atau sejenisnya.

Ketika itu, pikiranku hanya tertuju pada merealisasikan cita-cita dan yang penting aku sekolah tanpa memikirkan yang lainnya. Padahal aku juga sudah daftar di sekolah favorit dan diterima, tetapi tidak aku ambil karena jarak dari rumah menuju sekolah yang terlalu jauh dan harus naik angkot beberapa kali baru sampai ke sekolah. Bagaimana mendapatkan uang jajan yang berlebih, sedangkan untuk makan saja keluarga kami masih kembang kempis, masih beruntung juga aku bisa sekolah di sekolah negeri dengan biaya yang cukup terjangkau.

Alhamdulillah, jarak sekolahku cukup dekat dari rumah, aku memutuskan mengendarai sepeda mini pemberian hadiah peringkat pertama dari ayah ketika aku duduk di bangku SMP. Biasanya, sepeda itu aku titipkan di rumah bibi karena pada waktu itu belum ada siswa yang mengendarai sepeda ke sekolah. Ada sih yang mengendarai sepeda motor, sama-sama sepeda hanya saja punyaku tak ada motornya.

Rumah Langit
Ernawati Lilys


Aku hanyalah salah satu anak dari orangtua yang hidup sederhana, anak keempat dari lima bersaudara. Kehidupan keluarga kami sangat pas-pasan. Namun untuk pendidikan, kami diajarkan untuk berjuang. Berjuang menjadi yang terbaik di sekolah dan menjadi siswa berprestasi karena kami harus berbagi uang pendidikan dengan saudara-saudara yang lain. Anak pertama di keluarga kami yaitu abangku, membutuhkan biaya pendidikan yang cukup banyak karena sekolah sambil menjadi santri di salah satu pondok pesantren yang berada jauh dari rumah kami. Kakak-kakakku masuk sekolah aliyah dan tsanawiyah. Aku dan adikku menjadi siswa salah satu sekolah negeri.  Sehingga orang tuaku sudah mengingatkan, kalau ada yang mau kuliah, harus dengan beasiswa atau biaya sendiri. Orang tuaku tak sanggup membiayai kuliah. Itu sebabnya, aku sering menabung dan rela tidak jajan agar dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. 

Memasuki masa remajaku, perjuangan demi perjuangan kulalui hingga aku bisa hidup lebih mandiri seperti saat ini. Dulu, aku adalah anak rumahan; pulang sekolah langsung pulang ke rumah, menghabiskan diri di kamar dengan membaca buku, menggambar atau sesekali membuat cerpen yang tak pernah ada yang membaca. Sambil menanti Ashar datang, aku mengajar les untuk anak-anak  tetangga. Aku mengajar pelajaran sekolah hingga mengaji. Ada yang dibayar, ada juga yang tidak. Tapi semuanya kujalani dengan senang

Menembus Batas “Ketidakmungkinan”
Vira Surya


Jenazah itu masih terbujur kaku. Sementara itu, kulihat wajah duka duduk bersila di samping dipan pembaringan suaminya dengan air mata. Ia yang kupanggil ibu, kini berduka dengan kematian ayah. Adakah yang lebih pahit selain kehilangan orang yang kita sayang,  tempat bergantung dan berbagi kesedihan dan kesenangan.

Aku bukan menolak takdir yang diberikan Tuhan. Namun, rasa pahit itu harus kutelan. Seperti minum obat, semoga saja dapat menyembuhkan. Saat itu usiaku masih 13 tahun. Peristiwa itu terekam kuat dalam memori otakku.

Kami menyandang gelar baru sebagai anak yatim. Anak yang biasanya menjadi bual-bualan masyarakat karena tak punya bapak. Jika sedikit saja kami melakukan kesalahan, kalimat yatim pun terus terucap dari mulut orang- orang yang tidak bertanggung jawab. Jika aku yang mendapatkan perlakuan itu. tak masalah. Namun, bila anak seusia 5 tahun, adikku, yang diejek, sungguh menyakitkan. Yatim, seperti “aib” yang tak ingin disandang oleh siapa pun, begitu juga kami. Apa daya, semua adalah kehendak Sang Kuasa.  

Sejak kematian ayah, beban hidup kami semakin berat. Makan seadanya, pernah juga kami makan bubur saja karena persediaan beras tinggal sedikit dan ibu tak sanggup membelinya. Tak hanya itu, gunjingan tetangga tentang anak yatim yang banyak tingkah dan janda genit, serta aura kebencian mereka yang kadang membuat ibu menangis di tengah malam. Ibu mencari nafkah dengan berjualan di pasar. Bila di pasar sedang sepi, ibu membuat kue untuk dititipkan di warung-warung. Selain itu, ibu juga mengais rezeki dengan menuai sisa-sisa jerami sawah. Semua demi makan sehari-hari kami dan sekolah. 


Sekolah tanpa Biaya
Eka Rosaria


Keberhasilan, kesuksesan, dan tercapainya cita-cita bukanlah suatu yang begitu saja terjadi. Ada proses serta ujian-ujian yang mesti dilalui sepanjang meraihnya. Ketekunan, kesabaran, rasa optimis yang tinggi serta tawakkal menyandarkan sepenuhnya kepada yang Maha mengabulkan segala harapan dan doa adalah bagian yang pasti mengiringi dalam menggapai semuanya.

Tamat sekolah menengah, aku ingin melanjutkan ke sebuah pesantren, karena aku punya cita-cita menjadi seorang ustadz yang berilmu dan mampu mengamalkan serta mengajarkan ilmunya. Meski pada saat kelulusan ada beberapa guru menawarkan agar aku sekolah di SMA top dan favorit di daerahku, aku menolaknya. Aku tetap dengan cita-cita semula. 

Tidak tahu kenapa, ketika masih di sekolah dasar dulu, aku sangat suka melihat penampilan ustadz-ustadz yang menyampaikan materi kultum, baik waktu subuh maupun sehabis sholat tarawih. Aku selalu serius menyimaknya. Senang melihatnya dan membayangkan bahwa kelak juga aku ingin seperti mereka.

Keinginanku tidak mulus. Ada yang mendukung, ada juga yang tidak. Banyak dari mereka bilang bahwa masuk pesantren itu tidak punya masa depan cerah. Mereka juga bilang, kalau aku sekolah di pesantren, lulus nanti mau makan apa. Lebih baik sekolah di negri supaya mudah mencari kerja dan kehidupan materi akan tercukupi dengan baik.
Tapi aku tidak goyah, meskipun aku tahu, sebenarnya  orangtuaku tidak setuju jika aku harus melanjutkan ke pesantren. Mereka mersa tidak sanggup membiayaiku. Sementara untuk kebutuhan sehari –hari ditambah biaya sekolah sodara-sodaraku juga orangtuaku sudah cukup kerepotan. 


Pilihan Hati
Ade Nurani


     Adakah di antara kalian yang tidak lulus SBMPTN? Dulu, bernama SNMPTN. Dulu lagi, bernama SPMB. Jika iya, kalian wajib baca ceritaku ini. Pun jika tidak, semoga kalian tak terlalu berbangga diri karena pada dasarnya semuanya adalah ujian, termasuk diuji dengan bisa lulus tes masuk PTN.
***

“Nduk, koe iki putuku. Kudu sholehah, ben dadi wong pinter, yo! Ben urippe sukses ning ndunyo lan akhirat. Mugo-mugo awake dewe kabeh iso kumpul karo Nabi Muhammad Saw,” pesan Mbah Putri, mengingatkanku untuk menjadi anak yang salihah, pintar, hidup sukses tak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Mbah Putri adalah partner satu-satunya terbaik di bumi bagi Mbah Kakungku, KH Ahmad Kawari.

Mbah Putri terbaring lemah di atas tempat tidur karena sakit. Tangan kanannya tak pernah lepas dari tasbih. Tubuhnya berselimut tebal. Dia menggenggam tangan kananku dengan erat.

Saat itu, aku tengah bingung dengan masa depanku. Aku tak lolos seleksi ujian SNMPTN ke universitas tujuanku. Putus asa, mungkin. Seolah Mbah Putri paham apa yang sedang dihadapi dan dipendam oleh cucunya ini.


Afirmasi Diri
Adila Rarasthika


“Yakinlah, ada sesuatu yang menantimu setelah banyak kesabaran yang kau jalani, yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa betapa pedihnya rasa sakit.”
-Ali bin Abi Thalib-

Sering kali kita mendengar pernyataan “kuliah itu penting biar dapat ijazah dan mudah melamar kerja.” Hmm… aku tak bisa sependapat dengan pernyataan itu. Memang umumnya instansi atau perusahaan meminta syarat pada pelamar ijazah S1 tapi kalau tidak dibarengi skill dan pengalaman lainnya sepertinya percuma saja.

Meski kala itu aku ada di semester akhir, rasanya deg-degan untuk menyelesaikan tugas akhir. Belum lagi kekhawatiran lainnya tentang masa depan karirku. Sebenarnya aku tak perlu risau akan hal ini karena latar belakang kuliahku adalah pendidikan. Otomatis akan menjadi guru nantinya baik privat, di tempat bimbingan belajar ataupun di sekolah. 

Namun yang menjadi kendalanya aku merasa salah jurusan kuliah. Aku tidak memiliki minat lebih pada sains. Cenderung menyukai sastra Indonesia. Parahnya lagi aku baru menyadari bahwa diriku tidak nyaman dengan kuliah menjelang semester lima. Bisa saja kalau pindah jurusan tapi rasanya tidak enak hati dengan orang tua. Biarlah aku pendam saja ketidaknyamananku ini.


Dilema Lulus Kuliah
Lia Z. Ansor


“Kasian, lama-lama kuliah enggak jadi apa-apa.”
“Percuma sekolah tinggi-tinggi, kalau akhirnya nganggur dan gigit jari.”
“Mending anak saya Si Ujang, cuma lulusan SD tapi nyari uang gampang.”
Begitulah sindiran orang-orang, kadang menyakitkan. Memandangku yang baru lulus kuliah dengan sebelah mata. Tidak punya pekerjaan setelah wisuda itu jadi bahan pembicaraan orang. Bulan April 2001 adalah titik awal goncangan, setelah aku diwisuda menyandang gelar sarjana. Berat rasanya beban hidup saat itu. Terlebih orang tuaku juga mendesakku untuk segera mencari pekerjaan. 

“Nanti kalau kamu punya uang sendiri dari hasil kerja, kan enak. Bisa menggunakan uang untuk kebutuhanmu sendiri. Ibu dan ayah bisa lebih tenang,” pinta ibu penuh harap. Bisa jadi orang tuaku mulai tak nyaman dengan pembicaraan orang, sehingga memaksaku untuk terus mencoba mendapatkan pekerjaan.


BELIEVE 4... karena untuk menjadi pengusaha sukses tak mengenal kata menyerah ...



Be A Lucky Man
Haden Mulyono


“Kalau tidak bisnis sekarang, lalu kapan mulainya? Kalau tidak bisnis sekarang, sampai kapan dalam kondisi seperti ini? Masa iya, betah hidup dalam tekanan, kerja keras siang malam, loyalitas tinggi tapi hasilnya nihil, sementara perhatian pemilik perusahaan? Hufftt… Belum lagi nanti kalau menikah, biaya akan bertambah, apalagi kalau punya anak? Haaa…!
Banyak yang berkata; “Bisnis itu mudah, bisnis itu gampang, bisnis itu gak perlu modal!” 

Kalian percaya? Ya, saya tertipu! 
Kondisi perekonomian global yang selalu berubah-ubah membuat saya berpikir. Bagaimana bila tiba-tiba saya dipecat? Bagaimana bila perusahaan merumahkan sebagian besar pegawainya demi alasan penghematan dan saya menjadi salah satu korbannya? Belum lagi masalah gaji yang semakin lama ternyata kian “berkurang” bila dibandingkan dengan jumlah pekerjaan yang makin lama terus bertambah; waktu dan inflasi. Saat itulah saya berpikir untuk BERUBAH! 

Saya pun banyak mengikuti seminar-seminar bisnis dan motivasi. Sebelum seminar dimulai saya sering mengamati raut wajah tak bersemangat peserta seminar yang rata-rata pegawai tersebut dan berubah drastis saat seminar selesai. Itu semua wajar, sebagian besar atau mungkin seluruh pegawai hidupnya seperti robot dan diatur oleh sistem. Saya juga mengamati diri saya sendiri yang sudah tiga kali pindah perusahaan untuk mencari hidup yang lebih baik, namun kenyataannya sama saja. 

Tak hanya sampai di situ saja penelitian saya. Survei pada salah seorang pedagang yang bisa dijadikan patokan data rilnya pun saya lakukan. Waktu itu saya memilih pedagang siomay sebagai objek. 


Pelajaran Berharga dari Setiap Pekerjaan
Fadhlin Nur Ramdhan


“Dulu, Bapak tidak seperti kalian yang memiliki keluarga utuh, makan enak, dan bisa sekolah tinggi. Dulu, Bapak harus bekerja dulu baru bisa mendapatkan sesuatu,” kata bapakku suatu hari. 

Bapakku adalah lulusan SD. Sejak kecil, beliau sudah harus mencari uang sendiri untuk makan dan memenuhi kebutuhan lainnya. Setiap hari, bapak berjualan koran membantu nenek yang saat itu bekerja sebagai tukang urut. 

“Selama lima tahun, Bapak pernah menjadi kuli panggul di perusahaan yang baru merintis.”
Sambil menyeka air matanya, beliau meneruskan ceritanya kepadaku. 
“Bapak tidak melihat jumlah penghasilannya saat itu. Yang Bapak lihat adalah pengalaman yang nantinya bisa dipetik dan pasti berguna buat masa depan. Walaupun rasanya punggung ini letih mengangkat ala-alat musik dan sound system yang berat, tapi Bapak yakin selalu ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkan sesuatu.” cerita bapak berapi- api. 

Keyakinan bapak menjadi kenyataan. Perusahaan tempat bapak bekerja semakin maju. Saat itu, bapak dipercaya oleh atasannya untuk menjabat sebagai staf akunting. Integritas dan kejujuran bapakkulah yang membuat atasannya memberikan jabatan tersebut. Dari kisah beliau, aku belajar belajar bahwa segala sesuatu harus diperjuangkan. Saat itu, aku mulai mengubah pola pikirku yang kekanak-kanakan. Aku tidak akan menyusahkan mereka lagi. Aku harus kuliah dan menikah dengan uangku sendiri. Aku akan membahagiakan kedua orang tuaku sebagaimana mereka yang telah berjuang untukku.
***

Bangkit dari Bangkrut
Tia Marty Al-Zahira


Setiap dari kita dilahirkan memiliki potensi, untuk itulah bersahabat dengan diri sendiri, selalu bersyukur dan mencari peluang, biarkan semesta mendukung apa-apa yang kita lakukan untuk kebaikan, karena setiap hari akan selalu menjadi hari baru buat kita yang optimis.

Memiliki usaha sendiri merupakan impian banyak orang termasuk aku sendiri, karena selain bisa menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan pribadi, tentu saja mampu membantu perekonomian keluarga dan orang-orang yang ada di sekitar. Aku yang terkenal sebagai anak manja dan hidup tinggal menikmati saja, kini harus berpikir keras bagaimana memiliki usaha yang bisa menjadi penopang hidup.

Saat itu aku tampak bimbang memilih bisnis yang harus aku jalani, padahal aku harus action agar tidak terlalu lama berdiam diri alias menganggur di rumah, beberapa budget pengeluaran juga harus di pangkas, dengan terpaksa memberhentikan asisten rumah tangga (ART), menutup toko sembako yang sudah berdiri sekitar 5 tahun. Dan pastinya aku sekeluarga harus hidup hemat, walaupun awalnya tidak biasa lama-lama kami semua menjadi terbiasa dengan kondisi hidup sederhana, setelah melewati kekalahan pada hari itu.

Lalu, bisnis apa yang akan aku jalankan. Entah, mengapa saat itu perhatianku tertuju pada usaha konveksi. Karena hal yang aku ketahui manusia membutuhkan pangan, sandang dan papan. Kalau pun mau bisnis harus mengandung unsur yang ada pangan, sandang dan papan, namun sekarang ada tambahan yaitu jalan-jalan, karena manusia juga butuh liburan.

Dengan modal yang lumayan aku memberanikan diri membuka bisnis konveksi. Orang tuaku sangat mendukung karena mereka yakin aku dapat bertanggung jawab dengan semua yang aku lakukan.


BELIEVE 


Adakah  manusia yang benar-benar bebas dari tantangan hidup? Bahkan, orang yang kita lihat hidup bergelimang harta, keluarga yang bahagia, wajah yang tampan atau cantik, tidak luput dari tantangan hidup. Sejatinya, hidup berisi kepingan tantangan yang jika dilewati dengan penuh keikhlasan, akan berbuah pengalaman. Pengalaman yang akan menjadikan seseorang kuat, tangguh dan lebih bijaksana. 

Meski kadang, cara melewati tantangan yang seringkali berbeda antara manusia satu dengan yang lain. Ada yang terus berusaha, ada yang patah di tengah jalan. Padahal, semua masalah hanya perlu satu jalan keluar. Rahasianya, ada di buku ini. 

Semoga buku ini dapat menjadi teman perjalanan yang menenangkan di tengah tantangan hidup yang boleh jadi hadir tanpa jeda. 
Selamat memaknani tantangan kehidupan. 



Bagi yang ingin memesan buku bisa langsung pesan ke nomor 0812-1400-7545 atau langsung klik di PenerbitMJB

Salam Inspirasi




Powered by Blogger.